Berita

Politik

Merdeka Dengan Fitrah

JUMAT, 18 AGUSTUS 2017 | 06:21 WIB | OLEH: IMAM SHAMSI ALI

SESUNGGUHNYA kemerdekaan itu adalah hak setiap orang, dan karenanya sekaligus menjadi hak setiap bangsa di atas dunia ini. Setiap orang terlahir dalam keadaan merdeka. Merdeka dari segala ikatan apapun kecuali ikatan Ilahi. Keterikatan ilahi inilah yang lazimnya dalam bahasa agama dengan "fitrah". Dengan demikian sesungguhnya kemerdekaan sejati itu adalah kembalinya manusia kepada fitrahnya.

Di sinilah rahasianya kenapa manusia tidak akan menemukan ketenangannya, baik pada tataran kehidupan pribadinya maupun pada kehidupan kolektifnya, di saat kemerdekaannya terampas. Bahkan rela mengorbankan alam fisik dan jasadnya demi menemukan kemerdekaan itu. Karena di saat kemerdekaan terampas di saat itu pula nilai dasar kemanusiaan setiap terampas. Dan di saat kemanusiaan itu terampas, manusia sesungguhnya hanya hidup dalam kepura-puraan.

Bertolak dari pemahaman kemerdekaan sebagai "fitrah" kemanusiaan kita, maka boleh jadi kemerdekaan yang kita rayakan dengan ragam cara itu menjadi sesusatu yang kurang bermakna. Betapa tidak, sejujurnya hidup manusia saat ini semakin jauh dari nilai-nilai kefitrahan. Sehingga dengan sendirinya hidup yang jauh dari kefitrahan adalah kehidupan yang belum merdeka.


Hidup yang berlandaskan fitrah, baik pada tataran individu maupun kolektif, itulah hidup yang merdeka. Dan hidup yang merdeka inilah yang mampu menemukan ketenangannya. Hidup yang tidak diikat dan tidak diperbudak oleh ciptaan. Hidup yang tiada penghambaan kecuai kepada Yang Maha Mencipta. Hidup yang selalu hadir dalam denyut jantungnya "dzikrullah". Sebagaimana dititahkan dalam firmanNya: "bukankah dengan mengingat Allah hati-hati manusia menjadi tenang".

Kemerdekaan sejati itu bermula dengan hadirnya "koneksi samawi" dalam hidup. Hadirnya kemaha tunggalan yang mencipta langit dan bumi dan seluruh yang ada di dalam dan di luarnya. Dan bagi umat Muslim langkah pertama dalam kemerdekaan ini dibangun di atas keyakinan tauhid "laa ilaah illa Allah". Keyakinan inilah yang diterjemahkan dalam sila pertama dasar negara Indonesia, Pancasila, dengan kalimat: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di atas ikrar Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan manusia Indonesia, baik pribadi maupun sebagai bangsa terbangun. Dengan semangat ikatan samawi, ikatan Tauhid, bangsa ini membangun kehidupa kolektifnya secara musyawarah dan mufakat (demokrasi yang menjunjung tinggi kebersamaan).

Dengan semangat yang sama bangsa ini akan selalu mengedepankan kesatuan dalam meraih cita-cita kolektifnya. Hanya dengan semangat tauhid ini pula bangsa Indonesia mampu menampilkan nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi adab dan peradaban. Serta dengan semangat ketuhanan dan tauhid itu Indonesia akan termotivasi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh komponen masyarakat.

Bertolak dari pemahaman di atas sesungguhnya ancaman terhadap kemerdekaan, apalagi dalam konteks dunia saat ini, bukan lagi penjajah yang datang dari luar. Tapi ketika kemerdekaan itu menjadi sebuah simbol yang tidak memiliki substansi fitrah lagi. Di saat itu hidup manusia jauh dari akarnya (fitrah). Dan jika itu terjadi maka kemerdekaan yang telah diproklamirkan 72 tahun silam boleh jadi menjadi kebanggaan yang hampa.

Kata lain dari hal di atas adalah bahwa musuh terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah segala hal yang mengancam kemanusiaannya. Dan kemanusiaan itu adaah fitrahnya. Dan fitrah itu adalah "dzalika ad-diin al-qayyim" (agama yang lurus).

Maka segala hal yang bertentangan dengan agama, sejatinya dilihat sebagai ancaman kemerdekaan. Dari komunisme, sekularisme, hingga kepada paham-paham yang secara langsung atau tidak merendahkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan bangsan dan negara.

Bukan sebaliknya. Justeru terkadang hal-hal yang berbau agama, agamis, dan mendukung fitrah kemanusiaan yang berketuhanan justeru dijadikan momok yang menakutkan. Bahkan dengan segala cara berusaha untuk dibasmi hingga ke akar-akarnya.

Saya khawatir, jangan-jangan di satu sisi kita memperingati kemerdekaan bangsa. Tapi di sisi lain kita membiarkan musuh-musuh itu merampas kembali kemerdekaan kita. Wal-iyadzu billah!

New York, 17 Agustus 2017

Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Pesan Ketum Muhammadiyah: Fokus Tangani Bencana, Jangan Politis!

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:13

Amanat Presiden Prabowo di Upacara Hari Bela Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:12

Waspada Banjir Susulan, Pemerintah Lakukan Modifikasi Cuaca di Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:05

Audit Lingkungan Mendesak Usai Bencana di Tiga Provinsi

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:04

IHSG Menguat, Rupiah Dibuka ke Rp16.714 Pagi Ini

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:59

TikTok Akhirnya Menyerah Jual Aset ke Amerika Serikat

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:48

KPK Sita Ratusan Juta Rupiah dalam OTT Kepala Kejari HSU

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:28

Bursa Asia Menguat saat Perhatian Investor Tertuju pada BOJ

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:19

OTT Kalsel: Kajari HSU dan Kasi Intel Digiring ke Gedung KPK

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:05

Mentan Amran: Stok Pangan Melimpah, Tak Ada Alasan Harga Melangit!

Jumat, 19 Desember 2025 | 08:54

Selengkapnya