Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
NASIONALISME IndoneÂsia dapat disebut nasionalÂisme terbuka, sebagaimana dijelaskan di dalam UUD 1945 yang di dalamnya mengatur hak-hak azasi manusia, seperti hak berÂserikat, hak beragama, hak berbudaya dan hak budaya itu sendiri, mengakui hak-hak internasional dan hak-hak kemanusiaan lainnya. Nasionalisme Indonesia bukanlah naÂsionalisme tertutup dalam arti mengandalkan dan menonjolkan unsur kekuatan dalam (inner werkende gaist), lalu kekuatan dalam ini diguÂnakan sebagai alat pembentur dengan unsur-unsur lain yang berasal dari luar dirinya. MisÂalnya, menolak kehadiran budaya dan aliran asing yang berbeda dengan kekuatan dalam tadi. Dialektika nasionalisme Hegel dapat diÂjadikan contoh nasionalisme tertutup, karena menganggap kekuatan dari luar sebagai ancaÂman dan memperlakukannya sebagai "imigran asing" yang harus dimata-matai. Akibatnya ketegangan konseptual selalu mewarnai ruang publik. Rezim politik paruh pertama Orde Baru yang membentuk berbagai perangkap pengaÂman nasionalisme, seperti Kopkamtib, Bakin, dan semacamnya.
Nasionalisme Indonesia difahami sebagai sebuah konsep kesatuan yang tersusun dari berbagai unsur keberagaman. KeberagamanÂnya diikat oleh sebuah kesatuan yang kokoh, melalui persamaan sejarah sebagai penghuni gugusan bangsa yang pernah dijajah selama berabad-abad oleh bangsa lain, dalam hal ini Belanda dan Jepang. Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bangsa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang mengaÂlami nasib penderitaan yang sama. Di samping persamaan sejarah, pluralisme Indonesia juga diikat oleh kondisi objektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersamaan, baik kondisi objektif maupun kondisi subjektif. Kesatuan kebangÂsaan ini juga biasa diistilahkan dengan nasionÂalisme Indonesia.
Realitas masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai unsur dengan subkulturnya masing-masing lalu menjalin kesepakatan menampilkan diri sebagai suatu komunitas yang utuh. Berbeda dengan masyarakat heterogen yang unsur-unsurnya tidak memiliki komitmen ideÂologis yang kuat. Masyarakat pluralisme tidak hanya sebatas mengakui dan menerima keÂnyataan kemajmukan masyarakat, tetapi pluralÂisme harus difahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana disimbolkan daÂlam Bhinneka Tunggal Ika (bercerai-berai tetapi tetap satu). Pluralisme juga harus disertai denÂgan sikap yang tulus menerima kenyataan kemÂajmukan itu sebagai hikmah yang positif. Di sini hadis Nabi Muhammad mempunyai arti yang amat penting, yaitu "perbedaan yang muncul di antara umatku adalah rahmat".
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:13
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:12
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:05
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:04
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:59
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:48
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:28
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:19
Jumat, 19 Desember 2025 | 09:05
Jumat, 19 Desember 2025 | 08:54