Berita

Richard Joost Lino/Net

X-Files

Lino Yang Teken Kontrak Bukan Rini Soemarno Ya!

Soal Kerjasama Pengelolaan JICT Dengan Hutchinson
JUMAT, 21 JULI 2017 | 10:21 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Perpanjangan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Hutchison Port Holding (HPH) ditandatangani di era Richard Joost Lino menjabat Direktur Utama PT Pelindo II.
 
Lino sempat dipanggil Panitia Angket Pelindo II DPR pada Desember 2015 lalu. Lino pun menjelaskan kronologi proses perpanjangan kontrak kerja dengan Hutchison itu.

Pada Mei 2012, Hutchison menyatakan niat untuk mem­perpanjang kontrak pengelolaan JICT dan menyerahkan draft pro­posal perpanjangan kerja sama.

Pada 21 September 2012, Pelindo II meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan melakukan penelaahan terhadap draft penawaran yang diajukan Hutchison.

"Pada 30 September 2012, Hutchison memasukkan proposal. Pada 14 November 2012, BPKP menyampaikan review atas pernyataan sikap perpanjangan kerjasama JICT," ujar Lino.

BPKP berpendapat bahwa ren­cana investasi dan perpanjangan kerjasama pengoperasian JICT akan memberikan manfaat tidak saja bagi Pelindo II, namun juga bagi perdagangan dan perekono­mian nasional.

BPKP kemudian merekomen­dasikan agar Direksi Pelindo II melakukan kajian aspek legal, menunjuk financial advisor untuk melakukan analisis bis­nis serta periode perpanjangan yang tepat.

"Pelindo diwajibkan meminta rekomendasi dari Dewan Komisaris dan persetujuan RUPS. Pada 19 November 2012, kemu­dian kami meminta rekomen­dasi dari Dewan Komisaris," tutur Lino.

Kemudian, pada 17 Januari 2013, Pelindo II meminta penda­pat dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) Kejaksaan Agung, selaku pengacara negara, men­genai bisa atau tidak dilakukan perpanjangan kontrak.

Pada 1 Februari 2013, Pelindo II membentuk Oversight Committee. Tak lama, Pelindo IImenerima penawaran kerja sama dari Mitsui untuk pengelolaan New Priok Container Terminal (NPCT) 1 Kalibau.

"Yang menurut assement mereka (Oversight Committee) menunjukkan angkanya sangat bagus, menguntungkan Pelindo II," kata Lino.

Mengacu penawaran dari Mitsui itu, Pelindo II meminta Deutsche Bank melakukan kajian finan­sial mengenai JICT. "(Penawaran dari Mitsui) ini kemudian kami mintakan kepada Deutsche Bank untuk dijadikan benchmark evalu­asi perpanjangan kontrak JICT," ungkap Lino.

Pada 14 Januari 2014, Pelindo IIkembali meminta penelaahan kepada BPKP mengenai aspek fi­nansial. BPKP utuh waktu empat bulan untuk melakukan review.

"Pada 13 Mei 2014, salah satu poin dalam review BPKP adalah dibuatkan opsi untuk dioperasi­kan sendiri dan atau dilakukan perpanjangan kerjasama. Dari hasil review tersebut, disimpul­kan bahwa perpanjangan kon­trak jauh lebih menguntungkan dibandingkan jika dioperasikan sendiri," sebut Lino.

Jika dioperasikan sendiri, Pelindo II hanya mendapatkan 948,90 juta dolar AS atau setara dengan Rp 12,9 triliun. "Tapi jika kontrak diperpanjang, pendapa­tannya bisa mencapai 1,244 milar dolar AS atau setaradengan Rp 16,9 triliun," bebernya.

Pada tahun yang sama, Pelindo IImeminta kajian teknis dari BMT Asia Pasific. Kemudian meminta kajian legal Kejaksaan Agung dan firma hukum top dari Amerika, Norton Rose Fulbright. KPK pun dimintai saran untuk as­pek good corporate governance.

Mengikuti saran pemegang sa­ham dan Oversight Committee, Pelindo II mengundang em­pat operator pelabuhan kelas dunia yakni PSA International, China Merchants Holding, APM Terminals dan DP World Asia Holding, untuk mengajukan penawaran kerja sama pengelo­laan JICT dengan mekanisme right to match. Namun tidak ada yang berminat.

Pada 2015, Dewan Komisaris Pelindo II kemudian meminta pendapat hukum kepada kan­tor hukum Soemadipraja & Taher, serta Financial Research Institute (FRI). Lalu bersama-sama direksi meminta Bahana Securities melakukan review atas kajian finansial yang dibuat Deutsche Bank.

Dianggap menguntungkan Pelindo II, Dewan Komisaris lalu mengirim rekomendasi perpan­jangan kerja sama pengelolaan JICT kepada Menteri BUMN. Pada 9 Juni 2015, Menteri Rini Soemarno memberikan persetu­juan kerja sama Pelindo II dengan Hutchison, dan meminta meminta Dewan Komisaris mengawasi pelaksanaannya.

Rini juga mengingatkan agar kerja sama itu memperhati­kan ketentuan peraturan yang berlaku, good corporate gov­ernance dan bisa memberikan hasil optimal bagi Pelindo II. Sebulan kemudian, Lino me­nandatangani kontrak dengan pihak Hutchison.

Kilas Balik
Volume Peti Kemas Di JICT Menurun, Pelindo II Tetap Dapat US$ 85 Juta/Tahun


PT Pelabuhan Indonesia II siap memberikan penjelasan ke­pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai ker­ja sama pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Hutchison Port Holding (HPH).

"Kami siap memberikan pen­jelasan dan akan support KPK dengan data, karena kami juga butuh kepastian usaha," kata Vice President Corporate Secretary Pelindo II, Shanti Puruhita.

Kepastian usaha ini, menurut­nya, penting lantaran Pelindo IItengah mengembangkan pelabu­han di sejumlah wilayah. "Kami sedang mengajak investor masuk untuk pengembangan pelabuhan Kijing, Kalimantan," Shanti mencontohkan.

Untuk diketahui, Senin 17 Juli lalu, Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo IItelah menyer­ahkan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT, kepada KPK.

Hasil audit itu menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran peraturan dalam perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison, dan in­dikasi kerugian negara 306 juta dolar AS atau Rp 4,08 triliun.

Menurut Shanti, hingga kini Pelindo IIbelum menerima hasil audit BPK, sehingga dia belum bisa berkomentar. "Yang jelas Pelindo IIpasti ikut aturan hu­kum yang berlaku dalam perpan­jangan kontrak ini," tandasnya.

Ia menjelaskan, Hutchison kembali dipilih menjadi mitra dalam pengelolaan JICT karena memiliki jaringan. "Kalau ingin ke Indonesia, dia tentu akan pak­ai jaringannya. Kenapa diker­jasamakan dengan pihak asing? Karena salah satu persyaratan, dia harus punya network, untuk menjamin kepastian link-nya akan masuk ke sini," ujarnya.

Hutchison berpengalaman mengelola pelabuhan sejak 1970-an. Perusahaan milik kon­glomerat Hong Kong, Li Ka-shing itu mengelola 48 pelabu­han di 25 negara.

"Jika ditanya apakah Pelindo II bisa mengelola sendiri JICT, kami yakin bisa," ujar Shanti. Hanya saja, lanjutnya, bakal ada beban biaya yang bakal ditang­gung Pelindo II.

Dengan diperpanjangnya kon­trak kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison, Pelindo IItinggal duduk manis dan bakal menerima pemasukan tetap 85 juta dolar AS per tahun.

Dalam dua tahun terakhir terjadi penurunan volume peti kemas di JICT. Kondisi ini dampak dibukanyasejumlah terminal peti kemas baru. "Kalau kondisi menurun, kami tetap terima 85 juta dolar per tahun," sebut Shanti.

Vice President Corporate Relations Division Pelindo II, Ari Santoso menambahkan, dari perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison Pelindo IImenerima up front fee atau uang muka 215 juta dolar AS dan pendapatan tetap 85 juta dolar AS per tahun.

"Jika pada 2019 nanti (saat kontrak lama dengan Hutchison berakhir) kita coba tawarkan, nilainya tidak sebagus sekarang. Karena pesaing sudah mulai ada. Forecast pasar ke depan akan lebih pesimistis," katanya.

Berdasarkan data Pelindo II, arus peti kemas di JICT men­galami penurunan. Pada tahun 2015, arus peti kemas mencapai 2,22 juta TEUs. Pada tahun 2016, hanya 2,14 juta TEUs. Artinya terjadi penurunan 3,54 persen dibanding tahun sebelumnya.

Kondisi dua terminal JICT yang masih dangkal membuat kapal-kapal kargo berukuran be­sar tak bisa bersandar. Terminal I JICT hanya memiliki kedala­man 10 meter LWS di sisi barat dan 14 meter LWS di sisi utara. Kapal yang bisa berlabuh kurang dari 5.000 TEUs.

Sedangkan, kedalaman Terminal II JICT hanya 8,5 meter LWS, sehingga hanya bisa disandari kapal-kapal kecil dengan kapasitas kargo maksi­mal 1.500 TEUs.

Sementara, beberapa terminal peti kemas baru yang dibuka te­lah memiliki kedalaman hingga 20 meter LWS, sehingga disan­dari kapal berkapasitas 18.000 TEUs.

"Secara bertahap kami akan melakukan standarisasi dua ter­minal JICT agar bisa disandari kapal-kapal kargo besar," kata Shanti. ***

Populer

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

UPDATE

Polri Gandeng INASSOC Sosialisasikan Aturan Penggunaan Airsoft Gun

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:34

Wamenkop Ferry Juliantono Ingin Gapoktan Naik Kelas

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:33

Kontrol Sipil ke Militer Harus Objektif, Jangan Pragmatis

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:23

Warga Jakarta Diminta Waspada Cuaca Ekstrem

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:12

Hasto Siap Sampaikan Eksepsi Pekan Depan

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:51

Sidang Perdana Duterte di ICC, Momen Bersejarah bagi Keadilan Internasional

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:30

Polisi Ungkap Motif Pembunuhan Ibu dan Anak di Tambora

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:23

Anggaran Makan Bergizi Gratis Naik dari Rp71 Triliun Jadi Rp171 Triliun

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:17

Pengamat: Bagaimana Mungkin Seorang Teddy Dilantik jadi Seskab?

Jumat, 14 Maret 2025 | 13:59

Korsleting Baterai Jadi Penyebab Kebakaran Air Busan

Jumat, 14 Maret 2025 | 13:54

Selengkapnya