Perpanjangan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Hutchison Port Holding (HPH) ditandatangani di era Richard Joost Lino menjabat Direktur Utama PT Pelindo II.
Lino sempat dipanggil Panitia Angket Pelindo II DPR pada Desember 2015 lalu. Lino pun menjelaskan kronologi proses perpanjangan kontrak kerja dengan Hutchison itu.
Pada Mei 2012, Hutchison menyatakan niat untuk memÂperpanjang kontrak pengelolaan JICT dan menyerahkan draft proÂposal perpanjangan kerja sama.
Pada 21 September 2012, Pelindo II meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan melakukan penelaahan terhadap draft penawaran yang diajukan Hutchison.
"Pada 30 September 2012, Hutchison memasukkan proposal. Pada 14 November 2012, BPKP menyampaikan review atas pernyataan sikap perpanjangan kerjasama JICT," ujar Lino.
BPKP berpendapat bahwa renÂcana investasi dan perpanjangan kerjasama pengoperasian JICT akan memberikan manfaat tidak saja bagi Pelindo II, namun juga bagi perdagangan dan perekonoÂmian nasional.
BPKP kemudian merekomenÂdasikan agar Direksi Pelindo II melakukan kajian aspek legal, menunjuk financial advisor untuk melakukan analisis bisÂnis serta periode perpanjangan yang tepat.
"Pelindo diwajibkan meminta rekomendasi dari Dewan Komisaris dan persetujuan RUPS. Pada 19 November 2012, kemuÂdian kami meminta rekomenÂdasi dari Dewan Komisaris," tutur Lino.
Kemudian, pada 17 Januari 2013, Pelindo II meminta pendaÂpat dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) Kejaksaan Agung, selaku pengacara negara, menÂgenai bisa atau tidak dilakukan perpanjangan kontrak.
Pada 1 Februari 2013, Pelindo II membentuk
Oversight Committee. Tak lama, Pelindo IImenerima penawaran kerja sama dari Mitsui untuk pengelolaan New Priok Container Terminal (NPCT) 1 Kalibau.
"Yang menurut assement mereka (
Oversight Committee) menunjukkan angkanya sangat bagus, menguntungkan Pelindo II," kata Lino.
Mengacu penawaran dari Mitsui itu, Pelindo II meminta Deutsche Bank melakukan kajian finanÂsial mengenai JICT. "(Penawaran dari Mitsui) ini kemudian kami mintakan kepada Deutsche Bank untuk dijadikan benchmark evaluÂasi perpanjangan kontrak JICT," ungkap Lino.
Pada 14 Januari 2014, Pelindo IIkembali meminta penelaahan kepada BPKP mengenai aspek fiÂnansial. BPKP utuh waktu empat bulan untuk melakukan review.
"Pada 13 Mei 2014, salah satu poin dalam review BPKP adalah dibuatkan opsi untuk dioperasiÂkan sendiri dan atau dilakukan perpanjangan kerjasama. Dari hasil review tersebut, disimpulÂkan bahwa perpanjangan konÂtrak jauh lebih menguntungkan dibandingkan jika dioperasikan sendiri," sebut Lino.
Jika dioperasikan sendiri, Pelindo II hanya mendapatkan 948,90 juta dolar AS atau setara dengan Rp 12,9 triliun. "Tapi jika kontrak diperpanjang, pendapaÂtannya bisa mencapai 1,244 milar dolar AS atau setaradengan Rp 16,9 triliun," bebernya.
Pada tahun yang sama, Pelindo IImeminta kajian teknis dari BMT Asia Pasific. Kemudian meminta kajian legal Kejaksaan Agung dan firma hukum top dari Amerika, Norton Rose Fulbright. KPK pun dimintai saran untuk asÂpek
good corporate governance.Mengikuti saran pemegang saÂham dan Oversight Committee, Pelindo II mengundang emÂpat operator pelabuhan kelas dunia yakni PSA International, China Merchants Holding, APM Terminals dan DP World Asia Holding, untuk mengajukan penawaran kerja sama pengeloÂlaan JICT dengan mekanisme right to match. Namun tidak ada yang berminat.
Pada 2015, Dewan Komisaris Pelindo II kemudian meminta pendapat hukum kepada kanÂtor hukum Soemadipraja & Taher, serta Financial Research Institute (FRI). Lalu bersama-sama direksi meminta Bahana Securities melakukan
review atas kajian finansial yang dibuat Deutsche Bank.
Dianggap menguntungkan Pelindo II, Dewan Komisaris lalu mengirim rekomendasi perpanÂjangan kerja sama pengelolaan JICT kepada Menteri BUMN. Pada 9 Juni 2015, Menteri Rini Soemarno memberikan persetuÂjuan kerja sama Pelindo II dengan Hutchison, dan meminta meminta Dewan Komisaris mengawasi pelaksanaannya.
Rini juga mengingatkan agar kerja sama itu memperhatiÂkan ketentuan peraturan yang berlaku,
good corporate govÂernance dan bisa memberikan hasil optimal bagi Pelindo II. Sebulan kemudian, Lino meÂnandatangani kontrak dengan pihak Hutchison.
Kilas Balik
Volume Peti Kemas Di JICT Menurun, Pelindo II Tetap Dapat US$ 85 Juta/TahunPT Pelabuhan Indonesia II siap memberikan penjelasan keÂpada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai kerÂja sama pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Hutchison Port Holding (HPH).
"Kami siap memberikan penÂjelasan dan akan support KPK dengan data, karena kami juga butuh kepastian usaha," kata Vice President Corporate Secretary Pelindo II, Shanti Puruhita.
Kepastian usaha ini, menurutÂnya, penting lantaran Pelindo IItengah mengembangkan pelabuÂhan di sejumlah wilayah. "Kami sedang mengajak investor masuk untuk pengembangan pelabuhan Kijing, Kalimantan," Shanti mencontohkan.
Untuk diketahui, Senin 17 Juli lalu, Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo IItelah menyerÂahkan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT, kepada KPK.
Hasil audit itu menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran peraturan dalam perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison, dan inÂdikasi kerugian negara 306 juta dolar AS atau Rp 4,08 triliun.
Menurut Shanti, hingga kini Pelindo IIbelum menerima hasil audit BPK, sehingga dia belum bisa berkomentar. "Yang jelas Pelindo IIpasti ikut aturan huÂkum yang berlaku dalam perpanÂjangan kontrak ini," tandasnya.
Ia menjelaskan, Hutchison kembali dipilih menjadi mitra dalam pengelolaan JICT karena memiliki jaringan. "Kalau ingin ke Indonesia, dia tentu akan pakÂai jaringannya. Kenapa dikerÂjasamakan dengan pihak asing? Karena salah satu persyaratan, dia harus punya network, untuk menjamin kepastian link-nya akan masuk ke sini," ujarnya.
Hutchison berpengalaman mengelola pelabuhan sejak 1970-an. Perusahaan milik konÂglomerat Hong Kong, Li Ka-shing itu mengelola 48 pelabuÂhan di 25 negara.
"Jika ditanya apakah Pelindo II bisa mengelola sendiri JICT, kami yakin bisa," ujar Shanti. Hanya saja, lanjutnya, bakal ada beban biaya yang bakal ditangÂgung Pelindo II.
Dengan diperpanjangnya konÂtrak kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison, Pelindo IItinggal duduk manis dan bakal menerima pemasukan tetap 85 juta dolar AS per tahun.
Dalam dua tahun terakhir terjadi penurunan volume peti kemas di JICT. Kondisi ini dampak dibukanyasejumlah terminal peti kemas baru. "Kalau kondisi menurun, kami tetap terima 85 juta dolar per tahun," sebut Shanti.
Vice President Corporate Relations Division Pelindo II, Ari Santoso menambahkan, dari perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison Pelindo IImenerima up front fee atau uang muka 215 juta dolar AS dan pendapatan tetap 85 juta dolar AS per tahun.
"Jika pada 2019 nanti (saat kontrak lama dengan Hutchison berakhir) kita coba tawarkan, nilainya tidak sebagus sekarang. Karena pesaing sudah mulai ada. Forecast pasar ke depan akan lebih pesimistis," katanya.
Berdasarkan data Pelindo II, arus peti kemas di JICT menÂgalami penurunan. Pada tahun 2015, arus peti kemas mencapai 2,22 juta TEUs. Pada tahun 2016, hanya 2,14 juta TEUs. Artinya terjadi penurunan 3,54 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kondisi dua terminal JICT yang masih dangkal membuat kapal-kapal kargo berukuran beÂsar tak bisa bersandar. Terminal I JICT hanya memiliki kedalaÂman 10 meter LWS di sisi barat dan 14 meter LWS di sisi utara. Kapal yang bisa berlabuh kurang dari 5.000 TEUs.
Sedangkan, kedalaman Terminal II JICT hanya 8,5 meter LWS, sehingga hanya bisa disandari kapal-kapal kecil dengan kapasitas kargo maksiÂmal 1.500 TEUs.
Sementara, beberapa terminal peti kemas baru yang dibuka teÂlah memiliki kedalaman hingga 20 meter LWS, sehingga disanÂdari kapal berkapasitas 18.000 TEUs.
"Secara bertahap kami akan melakukan standarisasi dua terÂminal JICT agar bisa disandari kapal-kapal kargo besar," kata Shanti. ***