KEMENTERIAN Keuangan akhirnya mundur dari rencana penerapan PPN 10 persen terhadap petani tebu, pada Kamis (13/7).
Hal ini terjadi setelah kebijakan yang mirip kebijakan era Kolonial tersebut ramai ditentang oleh publik, dan bahkan diprotes oleh kementerian lain. Tapi kontroversi Sri Mulyani ternyata belum berhenti. Keesokannya (14/7) Ditjen Pajak resmi mengumumkan akan menggelar pemeriksaan pada 5000 peserta program pengampunan pajak (tax amnesty).
Padahal rencana ini sempat ditentang oleh kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam Kadin dan juga oleh pengamat perpajakan sejak beberapa bulan lalu.
Ketua Umum Kadin Rosal Roeslani berpendapat rencana tersebut tidak adil karena menurutnya pemerintah sejak awal berkomitmen tak akan menelisik pengusaha yang mengikuti amnesti pajak. Sementara pengamat perpajakan Yustinus Prastowo berpendapat bahwa, perlu ada kelonggaran bagi mereka yang sudah ikut program amnesti pajak agar kepercayaan mereka tidak rusak.
Sebenarnya Sri Mulyani sendiri pernah menyatakan masih terdapat potensi hingga 2 juta wajib pajak yang belum terdaftar dalam program amnesti pajak. Lalu mengapa kini harus memeriksa kembali ke dalam peserta amnesti pajak yang jumlahnya baru mencapai 891 ribu wajib pajak. Seharusnya Kementerian Keuangan mengejar sisa wajib pajak yang belum menjadi peserta amnesti pajak, sekitar 1,1 juta wajib pajak- bila mengikuti estimasi Sri Mulyani. Berburu itu ke hutan, bukan ke kebun binatang.
Kepanikan-kepanikan Sri Mulyani, mulai dari kasus PPN 10 persen Petani Tebu hingga pemeriksaan kembali 5000 peserta amnesti pajak menandakan berbahayanya situasi APBN kita. Terutama di beberapa indikator.
Seperti diketahui, bila dibandingkan dengan tahun 2013, akhir masa kerja Menteri Keuangan Agus Martowardoyo, rasio pajak atau tax ratio tahun 2017 masih di bawahnya. Pada tahun 2013, tax ratio kita masih di angka 11,7 persen. Sementara pada RAPBNP 2017, tax ratio hanya dipatok 10,7 persen. Ini merupakan suatu kemunduran.
Maka wajar, defisit keseimbangan primer pun ikut naik. Indikator ini menunjukkan terjadinya penyempitan ruang fiskal akibat penurunan pendapatan, peningkatan belanja pemerintah, lonjakan pembayaran utang. Bila di tahun 2012 nilai defisit keseimbangan primer sebesar Rp 53 triliun, di tahun 2013 melonjak ke Rp 98,6 triliun, pada tahun 2017 sudah berada di kisaran Rp 109 triliun.
Tapi memang jumlah pembayaran bunga utang obligasi Indonesia membengkak di tahun 2017 ini. Sebagian besar bunga utang obligasi yang kita bayar saat ini, sebagian besarnya disebabkan oleh kesalahan Sri Mulyani di masa lalu. Sewaktu menjadi Menkeu di era Presiden SBY tahun 2006 hingga 2010, Sri Mulyani telah membukukan utang bagi Republik Indonesia sebesar Rp 476 triliun. Artinya tidak kecil peran Sri Mulyani di masa lalu atas tinggi pembayaran bunga utang.
Dan pastinya kesemuanya berbunga tinggi, umumnya sebesar 1-2 persen di atas ketiga negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand. Meski rating Indonesia sebenarnya lebih tinggi dari ketiga negara tersebut. Bisa dipastikan, dengan perhitungan sederhana, asumsi tenor 10 tahun, akhirnya Indonesia harus membayar bunga utang obligasi sebesar Rp 47 triliun hingga Rp 95 triliun lebih tinggi dari ketiga negara tersebut sejak 2016 hingga 2020.
Nilai pembayaran bunga utang obligasi di tahun 2017 mencapai Rp 221,2 triliun (meskipun kemudian dipotong menjadi Rp 219,2 di RAPBNP). Nilai ini, menurut Ekonom Faisal Basri, menyamai anggaran belanja modal, dan empat kali lipat pengeluaran social (social expenditure). Bila dibandingkan dengan tahun 2016 sebesar Rp 182,8 triliun, artinya terjadi lonjakan pembayaran bunga utang sebesar hampir 20% di tahun 2017.
Dan memang Sri Mulyani akan selalu memprioritaskan pembayaran bunga surat utang dalam anggaran belanja pemerintah. Anggaran untuk kesejahteraan rakyat dapat dipotong, rakyat kecil dipajaki, Bukankah ini rekam jejak yang membuatnya disenangi oleh para investor pasar uang sejak dahulu kala, sehingga mendapatkan berbagai penghargaan di media-media mereka?
Namun pada era SBY dahulu Sri Mulyani dibantu oleh boom harga komoditi, sehingga pertumbuhan ekonomi 6 persen seolah mudah digapai. Kini, suasananya sangat jauh berbeda. Saat ini ekonomi sedang melambat.
Beberapa saat lalu (29/6) Ketua, Apindo Haryadi Soekamdhani mengkritik pemerintah yang dianggapnya tidak menolong pelemahan daya beli rakyat, sehingga pada Ramadhan 2017 kemarin penjualan anjlok hingga 20%. Selain itu, berdasarkan riset Kontan, didapati realisasi penjualan ritel dan industri kendaraan bermotor melemah hingga semester I tahun 2017.
Alhasil, Sri Mulyani pasti akan kembali panik. Dirinya panik karena sadar tidak mampu menghadapi perlambatan ekonomi yang menanti Indonesia di depan.
[***]
Penulis adalah peneliti ekonomi politik di Lingkar Studi Perjuangan