Anggota DPRD Kota Mojokerto, Jawa Timur ramai-ramai mengembalikan duit yang berasal dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Langkah itu diambil setelah mereka menjalani pemeriksaan KPK.
Kemarin, 10 anggota DPRD Kota Mojokerto itu diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap pengalihan anggaran proyek Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Mereka menjalani peÂmeriksaan di aula Wira Pratama Markas Polres Mojokerto.
Anggota Komisi II DPRD Kota Mojokerto, Jawa Timur, Junaedi Malik mengaku menerimaduit Rp 5 juta dari pimpinan DPR.
"Tadi disinggung (penyidik KPK), tapi kami tak tahu uang itu uang apa. Kami sebagai anggota tak pernah ada janjian terkait bagi-bagi uang untuk PENS," aku Junaedi usai menÂjalani pemeriksaan.
Menurut politisi PKB ini, uang tersebut diterima dari Wakil Ketua DPRD dari Fraksi PKB Abdullah Fanani pada Juni sebelum terjadi operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Junaedi mengaku tak tahu tujuan Fanani memberikan uang itu.Ia mengira uang itu pemÂbagian untuk operasional angÂgota dewan. "Semua anggota (DPRD) terima masing-masing Rp 5 juta dari unsur pimpinan (Dewan)," bebernya.
Setelah diperiksa KPK, Junaedi berinisiatif mengembalikan uang tersebut. "Kalau saya tadi sudah saya kembalikan ke penyÂidik. Saya kira (anggota DPRD) yang dipanggil semua kooperatif (mengembalikan uang). Karena semua anggota tak paham soal uang itu," kata Junaedi.
Hal yang sama dikatakan Sekretaris Komisi II DPRD Kota Mojokerto dari Fraksi Partai Gerindra, Dwi Edwin Endra Praja.
"Uang Rp 5 juta memang pemberian dari pihak Kadis PUPR yang disalurkan melalui pimpinan (Dewan) ke anggota. Namun awalnya kami tak tahu, bersikeras itu uang rezeki. Saya tahunya setelah menjalani peÂmeriksaan," tuturnya.
"Saya tak paham, karena ini ranahnya pimpinan (DPRD) dan Kadis PUPR," lanjut Dwi Edwin.
Setelah mengetahui sumber uang tersebut, Dwi Edwin beÂrencana mengembalikannya kepada KPK. "Insya Allah kami semua sepakat mengembalikan, secepatnya. Teknisnya bisa langÂsung ke penyidik atau transfer ke rekening KPK," ujarnya.
Dalam pemeriksaan kemarin, para anggota dewan mengaku ditanya penyidik KPK soal pengalihan anggaran proyek Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS).
Usai menjalani pemerikÂsaan 5 jam, anggota Komisi III DPRD Kota Mojokerto Yunus Suprayitno mengaku ditanÂya soal rapat dengar pendapat (hearing) mengenai pengalihan proyek PENS Rp 13 miliar.
"Saya jelaskan, beberapa angÂgota (Dewan) tak sependapat PENS dijalankan tahun 2017. Alasan saya, Kota Mojokerto kecil, minim lahan. Kalau dibanÂgun PENS akan menjadi keÂwenangan (Kementerian) Dikti. Pemkot malah kehilangan aset. Kalau tak berkembang, jadi mangÂkrak," kata politisi PDIP ini.
Junaedi mengaku juga tak setuju proyek PENS dijalankan tahun ini karena banyak aspek legal yang belum terpenuhi.
"Yang jelas, saya sampaikan program PENS senilai Rp 13 miliar tetap di posnya, tak ada pengalihan. Kami tak tahu isu pengalihan anggaran," akunya.
Sedangkan anggota Komisi II Deny Novianto tak tahu detail mengenai proyek itu.
"Teknisnya saya tidak tahu. Karena sejak dilantik saya di Komisi I, baru-baru ini saja saya dipindah ke Komisi II yang memÂbidangi pembangunan," ujarnya.
Pemeriksaan terhadap angÂgota DPRD Kota Mojokerto berlangsung hingga malam. Rencananya, penyidik KPK akan melakukan pemanggilan terhadap anggota dewan lainnya hari ini.
Kilas Balik
Kepala Dinas PU Klaim Punya Bukti Dirinya Diperas DewanKepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Mojokerto, Wiwiet Febriyanto mengajukan diri seÂbagai justice collaborator (JC). Ia bakal membongkar kasus korupsi yang dilakukan pejabat Mojokerto.
Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyarankan, tersangka sebaiknya kooperatif dalam menjalani proses peÂnyidikan. "Ini bisa membantu penyidik mempercepat proses penyidikan serta tidak menghalangi pengentasan perkara," ujarnya.
Sikap kooperatif ini, menurut Febri, akan menjadi pertimbanganbagi KPK untuk mengusulÂkan tersangka sebagai JC.
Mengenai dalih Wiwiet yang menjadi korban pemerasan angÂgota DPRD, menurut Febri, bakal jadi masukan bagi penyidik dalam pengembangan perkara. Pengakuan itu masih perlu didaÂlami kebenarannya. "Kita tunÂtaskan dulu pemeriksaannya."
Kuasa hukum Wiwiet Suryono Pane menandaskan, kliennya siap buka-bukaan dalam kasus ini. Wiwiet bersedia menjadi JC untuk mengungkap semua pihak yang terlibat.
"Dia berjanji kooperatif, mengakuiperbuatan yang dilakukan dan membuka apa ada kasus lain yang diketahuinya," kata Suryono.
Suryono mengatakan ada bukti permintaan uang dari tiga pimpiÂnan DPRD Kota Mojokerto keÂpada Wiwiet. Semuanya terekam di telepon seluler Wiwiet. Bukti itu sudah dipegang penyidik.
"Intinya ada permintaan dan penekanan yang dilakukan tiga pimpinan Dewan dan ada saksi yang melihat. Saksi itu masih dirahasiakan, akan dihadirkan pada proses persidangan," kata Suryono.
Suryono mengungkap Wiwiet sudah mewaspadai bakal adanÂya permintaan dana dari Dewan dan pihak lainnya. Bahkan pihak keluarga sempat menÂyarankan Wiwiet mundur saja dari jabatannya.
"Ada satu kasus lagi yang kami pastikan akan kami bongÂkar. Klien kami diminta sampai Rp 1 miliar," beber Suryono.
Untuk memenuhi permintaan pejabat di Kota Mojokerto itu, Wiwiet sampai berutang. "Dia menggadaikan rumah milik orang tuanya," tutur Suryono.
Pejabat eksekutif Kota Mojokerto minta bantuan langsung kepada Wiwiet. Lantaran tak memegang uang tunai, Wiwiet memutuskan menjaminkan sertifikatrumah orang tuanya agar bisa memenuhi permintaan uang Rp 1 miliar.
Namun Suryono belum berÂsedia membuka identitas yang meminta uang kepada Wiwiet. "Nanti akan disampaikan dalam proses penyidikan lanjutan," sergahnya.
Yang penting, sambung Suryono, pihaknya berusaha agar Wiwiet memperoleh status JC dulu. "Kita berusaha kooperatif agar segera memperoleh status JC," tandasnya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat tersangka. Yakni Wiwiet, Ketua DPRD Purnomo, Wakil Ketua DPRD Umar Faruq dan Wakil Ketua DPRD Abdullah Fanani. ***