Hasil sidang dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sangat membantu pasangan La Ode Budi Utama-Ir. La Ode Abdul Manan (BudiMan) untuk menemukan kebenaran terhadap kasus yang dialami dalam pelaksanaan Pilkada Buton Selatan, Sulawesi Tenggara 2017.
Tiga aduan yang disidang DKPP adalah hak konstitusi Budiman, penggunaan KTP BudiMan oleh Agus pasanga rival Salim-La Ode Agus (AA) untuk mencalonkan diri, serta tidak adanya pemeriksaan ijazah La Ode Arusani sehingga lolos menjadi calon.
Terhadap hak konstitusi pasangan BudiMan, hakim memutuskan Ketua KPU Busel La Ode Masrizal Masud terbukti melanggar etik. DKPP menyatakan seharusnya teradu satu yaitu ketua KPU Busel pada saat menerima pendaftaran melakukan verifikasi dan memberitahukan kekurangan persyaratan pasangan BudiMan selaku pengadu satu, dengan demikian pengadu satu tidak kehilangan kesempatan untuk memperbaiki persyaratan yang diajukan.
Teradu satu telah melanggar pasal 12 huruf (b) Peraturan Bersama KPU dan seterusnya. Di persidangan DKPP, juga terbukti KPU Busel salah rujuk terkait unggahan formulir B1.KWK BudiMan. Terkait aduan penggunaan KTP pendukung BudiMan di KPU Busel oleh pasangan AA untuk lolos sebagai calon terbukti di persidangan bahwa kasus dihentikan bukan disebabkan tidak adanya migrasi KTP di KPU Busel.
Hakim Ketua TPF DKPP Nur Hidayat Sardini dalam persidangan sempat mempertanyakan mengapa Panwaslu Busel tidak minta bantuan Bawaslu dan DKPP atas hambatan bahwa pemeriksaan terhadap bukti-bukti tidak bisa dilakukan karena B1.KWK BudiMan dan B1.KWK AA tidak diberikan oleh KPU Busel.
Pada persidangan tersebut juga telah terbukti bahwa Panwaslu Busel belum memeriksa AA untuk dikonfrontir dengan data yang diadukan oleh masyarakat. Bahkan PPS dan PPK di Desa Katampe, Lamaninggara dan Molona belum pernah diperiksa Panwas Busel.
Akibatnya, kenapa istri, anak, keluarga besar Abdul Manan dan para pengumpul KTP BudiMan beserta masyarakat yang hanya kumpul KTP untuk BudiMan terdaftar di KPU Busel sebagai pendukung AA belum juga terungkap kebenarannya.
Fakta bahwa hampir 50 persen KTP AA dinyatakan KPU Busel ditolak masyarakat, tapi KPU Busel tetap meloloskan AA jadi calon masih menjadi misteri. Bahkan di Desa Katampe, AA hanya punya dua KTP, di mana 77 KTP yang digunakannya adalah milik BudiMan. KTP AA di Desa Molona hanya 7.115 KTP, sisanya adalah milik BudiMan. Psangan AA sama sekali tidak ada tim di sana, dan sejak masalah tersebut muncul tidak pernah muncul memberikan penjelasan atau hak jawab.
"Anehnya, KPU Busel seperti jadi juru bicara AA. AA tidak pernah dimunculkan untuk membela dirinya, baik saat KPU didemo atau bahkan di sidang DKPP," ujar La Ode Abdul Manan dalam keterangannya, Rabu (28/6).
Sedangkan argumentasi KPU dan panwas bahwa kewajiban memeriksa ijazah La Ode Arusani hanya ijazah yang terakhir karena ijazah di bawahnya pasti benar tentu layak diuji di KPU dan Bawaslu. Pendapat itu harusnya bertentangan dengan PKPU Nomor 9/2016 pasal 101, yang mana semua level ijazah harus valid, satu salah satu saja tingkatan palsu maka pasangan tersebut gugur.
Terbukti di persidangan bahwa ijazah La Ode Arusani yang diperiksa hanya pendidikan tingkat SLTA.
"Kami beranggapan bahwa tidak mungkin seseorang memiliki ijazah SLTA kalau dia tidak memiliki ijazah SLTP yang benar," ujar Ketua KPU Busel Masrizal Masud dalam persidangan.
Sebenarnya, ijazah La Ode Arusani di SMPN Banti sangat kasat mata mencurigakan. Ijazah tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan sekolah reguler di SMP Banti, Tembagapura pada usia 27 tahun. Padahal, undang-undang hanya membenarkan seseorang berusia 16 tahun untuk masuk sekolah reguler SLTP atau tidak boleh lebih tiga tahun putus sekolah setelah tamat SD. Nomor ijazahnya juga bukan dari Papua, tapi NTB. Sejauh ini, surat pernyataan dari SMPN Banti yang sudah dikuatkan oleh Dinas Pendidikan Mimika dinyatakan oleh Departemen P dan K sudah cukup sebagai bukti ijazah La Ode Arusani di SMPN Banti tersebut paslu.
Ketua Komnas Pilkada Independen Yislam Alwini menambahkan bahwa putusan DKPP belum akhir dari masalah sengketa yang digugat pasangan BudiMan.
"Ranah DKPP kan ranah etik penyelenggara, tindak lanjut untuk non etiknya tentu oleh KPU dan Bawaslu, pusat ataupun daerah. Masak, mereka akan tutup mata atas suatu kedzoliman," imbuhnya.
[wah]