PERTANYAAN apakah betul negara tidak boleh memberikan "bantuan" melalui dana yang ada di APBN/APBD kepada Badan Perfilman Indonesia (BPI) bukanlah pertanyaan yang mengada-ada. Melihat konstruksi yuridis yang ada dalam UU No. 33/2009 tentang Perfilman (selanjutnya disebut "UU Perfilman"), pertanyaan ini wajar muncul dan kesimpulannya pun sangat menarik, karena boleh jadi di luar perkiraan kita.
Sesuai Pasal 68 ayat (3) UU Perfilman, BPI merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri. Dengan demikian, UU Perfilman sudah menegaskan secara terang benderang BPI merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri. Maknanya secara struktural, BPI sama sekali tidak ada kaitanya dengan lembaga kenegaraan apapun. Lebih jauh lagi, UU Perfilman sudah menegaskan BPI harus bersifat mandiri, dalam artian tidak tergantung kepada pihak tertentu, termasuk dalam hal ini di bidang keuangan.
Lalu dari mana sumber pembiayaan BPI? Pasal 70 ayat (1) UU Perfilman menyebut ada dua sumber pembiayaan BPI. Pertama, dari pemangku kepentingan. Dalam hal ini organisasi perfilman yang telah diverifikasi olrh BPI sendiri yang tergabung dalam BPI. Kedua, sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumber ini maksudnya merujuk kepada B to B alias bisnis ke bisnis.
Nah, sekarang sampai pada pertanyaan inti: bagaimana dari sumber pembiayaan negara? Pasal 70 ayat (2) UU Perfilman membuat ketentuan, jika dana BPI dari negara, berlaku ketentuan yang sangat limitatif atau sangat khusus yang terbatas. Artinya, dana negara hanya boleh disalurkan khusus sesuai dengan ketentuan dalam pasal 70 ayat (2) UU Perfilman saja. Supaya jelas, saya kutip lengkap Pasal 70 ayat (2) tersebut, "Bantuan dana yang bersumber dari BPBN dan/atau APBD bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Jadi, menurut UU Perfilman, bantuan untuk BPI yang bersumber dari keuangan negara (APBN/APBD) dibatasi hanya boleh yang bersifat hibah. Di luar yang bersifat hibah, BPI tidak boleh menerima bantuan dari keuangan negara. Jika kemudian ada bantuan dari keuangan negara (APBN/APBD) yang bersifat non hibah kepada BPI, maka memiliki potensi bukan saja penyimpangan prosedural yang akan jadi temuan inspektorat, tapi juga dapat menjurus ke arah pemenuhan kreteria tindak pidana korupsi!
Terkait bantuan yang bersifat hibah ini pun, UU Perfilman dengan tegas menyatakan bahwa hibah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Permenkeu (Peraturan Menteri Keuangan) untuk menghindari penyalahgunaan anggaran negara, maka ditetapkan, hibah dari suatu kementerian atau lembaga negara kepada suatu pihak, hanya dapat dilakukan satu kali saja. Dengan demikian, hibah yang diberikan kepada BPI dari suatu kementerian atau lembaga hanya boleh dilakukan satu kali saja! Lebih dari itu sudah melanggar hukum dan berpotensi masuk katagori tindak pidana korupsi.
Memang dalam pasal-pasal lain UU Perfilman disebut pemerintah (baik pusat maupun daerah) dapat memfasilitasi berbagai kegiatan perfilman. Upaya memfasilitasi itu dapat dilakukan oleh pemerintah kepada pelaku kegiatan atau pelaku usaha perfilman, tapi dengan adanya ketentuan khusus pasal 70 ayat (2) itu tidak boleh dilakukan kepada BPI. Kenapa? Pertama untuk pihak lain tidak ada ketentuan khusus bagaimana cara pemakaian dana menfasilitasi itu dapat dilakukan. Sedangkan khusus kepada BPI penggunaan dana yang bersumber dari ABPN/APBD diatur secara khusus dan dengan cara terbatas yaitu hanya melalui hibah. Di luar hibah, tertutup pintu bantuan dari negara kepada BPI. Kedua, UU Perfilman dengan tegas menyebut BPI merupakan swasta yang bersifat mandiri. Dalam kontek ini mandiri dimaksud juga termasuk mandiri dalam hal finansial atau keuangan. UU mengharapkan BPI menjadi lembaga mandiri yang tidak boleh menjadi lembaga yang bersifat "benalu," yaitu selalu memakai uang negara. Dengan kata lain, BPI dituntut untuk kreatif mencari uang sendiri.
Dari konstruksi yuridis seperti itu tidaklah mengherankan jika pembuat UU Perfilman dalam Pasal 69 huruf h malah menginginkan agar BPI justeru mampu "memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi." Tegasnya dalam soal pendanaan BPI diletakan pada badan yang tangannya dapat memberi, bukan sebaliknya badan yang tangannya meminta-minta.
Disinilah kesinambungan yang dimaksud pembuat UU bahwa BPI merupakan lembaga swaswa dan bersifat mandiri sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (3) jo pasal 70 ayat (2) bahwa BPI hanya boleh menerima bantuan negara dengan cara hibah.
Dari uraian itu jelas, sebuah kementerian dan atau lembaga negara tidak boleh memberikan bantuan kepada BPI selain melalui hibah, dan hibah sesuai peraturan perundang-undangan hibah itu hanya boleh dilakukan sekali.
[***]Wina Armada SukardiPenulis adalah pakar hukum media dan kritikus film