STATEMENT "Aku Pancasila" dan sejenisnya yang baru-baru ini meramaikan pentas atau sandiwara politik kita, mengesankan kuat adanya serangan terhadap kelompok tertentu yang dinilai sebagai anti-Pancasila atau setidaknya bertentangan dengan Pancasila.
Klaim sebagai yang paling Pancasilais dibandingkan dengan yang lain sangatlah kuat dan karena itu kelompok lain tersebut haruslah diwaspadai. Deklarasi "saya Pancasila" itu banyak juga diikuti oleh para pendukung politiknya, meskipun kritik juga bermunculan.
Deklarasi tersebut, bagi para pengkritiknya, bisa dianggap semacam "kemusyrikan politik" karena telah menduakan Pancasila. Atau, jika dipahami sebagai
olitics mysticism, jika boleh menyebut begitu, ini separti Al-Hallaj tokoh penting mistisisme panteistik ketika mengatakan
Ana Huwa wa Huwa ana... Ana al-haq: aku adalah Dia Allah dan Dia adalah aku.. Aku adalah kebenaran itu sendiri.
Paham mistisime ini disebut dengan tasawuf falsafi,
wihdatul wujud (unity of existence). Paham heterodoksi ini menimbulkan kontroversi dan banyak penolaknya. Bagaimana kontroversi ini muncul dan berkembang dan bagaimana dampak sosial keagamaan dan politik yang ditimbulkan, telah terekam secara jelas dalam sejarah.
Penulis tidak tahu apakah juga nenggunakan logika yang sama dengan alHallaj sehingga dia menyatakan "saya adalah Pancasila"? Kalau dinyatakan dalam bahasa Arab, seperti yang digunakan alHallaj, maka seakan-akan dia mengatakan seperti ini
Ana Pancasila, wa Pancasila ana.. Ana al-haq.
Ini menimbulkan perdebatan dan kecaman keras seperti yang juga disampaikan oleh Mbah Permadi baru-baru ini. Para pengkritik dan bahkan publik mungkin merasakan spirit apa yang ada di balik "Saya Pancasila" itu.
Sebagian berspekulasi, ini tidak ubahnya seperti Presiden Soeharto yang mendesakkan tafsir Pancasila-nya sebagai kebenaran yang harus diikuti oleh semua elemen masyarakat. Hal ini bisa terbaca antara lain dari Program P4nya dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas (Azas Tunggal) bagi semua kekuatan Orsospol. Arahnya jelas yaitu secara politik Presiden mempunyai otoritas tunggal untuk mengikat, mengontrol, mengawasi semua elemen masyatakat termasuk kekuatan-kekuatan sosial politik. Bahkan menghukum siapa saja yang dinilai bertentangan dengan Pancasila sebagaimana yang dipahami dan ditafsirkan. Presiden memiliki otoritas penuh untuk "menggebuk" mereka yang berlawanan.
Political diction dua Presiden ini sama.
Yang jelas, menurut penulis, kita sebagai bangsa sedang menghadapi masalah serius yang terkait dengan Pancasila yang jika tidak ditangani secara serius, bangsa Indonesia akan mengalami kebangkrutan dan goncangan berat.
Akar NilaiSangat benar bahwa Pancasila itu adalah ideologi bangsa yang digali, dirumuskan dan disepakati dengan proses dan effort yang tidak mudah. Nilai-nilainya yang luhur itu tidak muncul serta merta saat para tokoh seperti Yamin, Soekarno atau Ki Bagus menyampaikan usulan atau pidato mereka terkait dengan Dasar Negara untuk Indonesia yang sedang disiapkan kemerdekaannya tahun 1945.
Nilai-nilai itu sudah merasuk dalam jiwa, pribadi, kebudayaan dan kepercayaan (system of belief) masyarakat dan bahkan dalam sistim tindakan. Nilai-nilai itu sesungguhnya sudah mengakar dan
embodied dalam kehidupan pribadi dan masyarakat banyak dalam rentang masa yang panjang, namun memang belum menjadi pandangan ideologis yang mengarahkan jalan dan cita-cita bersama ke depan.
Pergumulan kebudayaan yang begitu luar biasa terjadi sebagai konsekwensi logis perjumpaan antara masyarakat dan bangsa-bangsa yang berbeda (Nusantara, Arab, Eropa, India, Persia) telah ikut memperkaya nilai-nilai kehidupan dan kemudian menjadi bagian penting dari jiwa, kepribadian, budaya dan keyakinan masyarakat. Bahkan pergumulan sosio kultural yang juga melibatkan arus agama-agama wahyu dan agama-agama filosofis ini tidak sekedar menimbulkan berbagai ketegangan, akan tetapi kemudian justru berkontribusi penting dalam pembentukan identitas nasional.
Jadi, proses kultural ini memang terjadi sangat panjang dan bahkan juga melampaui masa-masa kritis terutama karena benturan dengan kolonialisme. Perlawanan terhadap kolonialisme ini menjadi jiwanya bangsa yang patriotik, menjadi bagian penting dari upaya mempertahankan kehormatan dan martabat yang diinjak-injak dan juga bagian penting dari penguatan nasionalisme.
Kekayaan nilai-nilai luhur yang terakumulasikan di atas menjadi sumber penting dari Pancasila. Tokoh-tokoh utama bangsa sebagaimana yang diurai di atas adalah pejuang yang dengan dedikasi tingginya menggali secara cerdas, memperdebatkan secara sangat serius dan menemukan titik-titik persamaan di tengah perbedaan tajam serta merumuskan ideologi bangsa yaitu Pancasila. Karena itu, Pancasila sebagai rumusan ideologi bangsa adalah perasan atau intisari dari begitu banyak dan kompleknya
living values Nusantara yang kemudian menjadi konsensus nasional dan mengikat.
Personifikasi PancasilaKarena merupakan konsensus nasional (al-'Ahdu) maka Pancasila itu sama sekali bukan bikinan atau ciptaan Yamin atau Soekarno atau Ki Bagus atau tokoh-tokoh lainnya. Bahwa para tokoh tersebut telah berjasa memberikan usul dan pandangan baik melalui pidato-pidato mereka maupun melalui perdebatan-perdebatan sepanjang sidang atau rapat-rapat, itu tak bisa dipungkiri. Mempersonifikasi Pancasila, tidak sekedar mengkaburkan sejarah akan tetapi justru juga mendegradasikan Pancasila, merendahkan dan melecehkan Pancasila.
Soekarno sendiri, sebagai pemimpin yang berjasa besar khususnya dalam sejarah perumusan Pancasila, juga menolak personifikasi Pancasila. Mempersonifikasikan Pancasila adalah kesia-siaan karena tidak akan produktif bagi kepentingan bangsa yang lebih besar. Bahkan, sangat besar kemungkinan di balik sikap personifikasi ini sebetulnya ada rencana atau niatan misalnya
character assasination terhadap seseorang atau kelompok yang keberadaannya dinilai mengganggu kenyamanan sosial, ekonomi dan politik. Di balik personifikasi Pancasila bisa jadi terdapat sikap koruptif dan otoritarian. Ini tak ubahnya seperti seseorang yang melakukan kezaliman atas nama atau menggunakan jubah kesucian agama.
Pancasila SubstantifPekerjaan kita sudah dipastikan bukan mempersonifikasikan Pancasila; bukan juga memperbanyak upacara atau ritual Pancasila. Yang jauh lebih mendasar adalah mengimplementasikan semua keluhuran yang terkandung dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, berkeluarga, bermasyarakat, bernegara dan dalam mengelola pemerintahan.
Inilah Pancasila substantif yang lebih mengedepankan untuk mengelola kehidupan bernegara sehingga terwujudnya keadilan ekonomi dan kemakmuran, tidak ada korupsi, tidak ada persekongkolan jahat untuk menggerogoti bangsa, menguatnya kejujuran, bebas dari intrik dan fitnah politik, dan menguatnya kehidupan dan
leadership yang profetik. Pancasila substanstif haruslah dibangun sebelum bangsa Indonesia terlanjur mengeropos dan ambrol melalui Revolusi Mental yang tepat.
Usaha pemerintah untuk menegaskan Pancasila yang lebih substantif dalam kehidupan patutlah didukung semua pihak karena ini adalah cara yang benar. Dan pemerintah serta para pemimpin haruslah menjadi teladan.
Wallahu a'lam bis Shawab.
[***]Penulis adalah adalah Ketua Komisi Pendidikan dan Kader MUI Pusat, Wakil Ketua Majelis Dikti PP Muhammadiyah, serta dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta