DIKOTOMI kesukaan penglihatan kepada pemandangan lautan dan pegunungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap orientasi pembangunan ekonomi nasional periode pemerintahan Joko Widodo. Lautan yang pada umumnya menyajikan keluasan dan kedataran, kecuali apabila terjadi tsunami.
Suatu pemandangan lautan yang mempersonifikasikan aspirasi azas keserbasamaan yang dinamis. Minimal aspirasi kesenjangan sosial ekonomi yang rendah. Akibatnya, seseorang yang kemudian menjadi pecinta lautan selanjutnya mempunyai pengharapan akan lebih menyukai banyak penduduk yang sama kaya, dibandingkan yang lebih banyak sama miskin. Lebih menyukai perubahan Negara yang sama cepat dibandingkan sama lambat.
Bermula dari kemauan untuk mempraktekkan amanat Undang Undang, yang menghendaki pemerataan pembangunan wilayah. Namun kecocokan sebagai penganut kesukaan pemandangan lautan mendorong pemerintah bermaksud mengembangkan tol laut dibandingkan senantiasa memprioritaskan keberlanjutan pembangunan di daratan yang banyak berpegunungan.
Maksud hati adalah memperbanyak pembangunan infrastruktur pelabuhan-pelabuhan baru untuk merealisasikan konsep tol laut. Memperbanyak jumlah kapal laut perintis menjadi armada reguler untuk memeratakan pembangunan ekonomi nasional lintas wilayah.
Akan tetapi mengangkat Menteri Keuangan berkapasitas global masih tidak kunjung diikuti oleh kinerja kelimpahan keuangan dalam membangun kelautan. Banyak rencana membangun pelabuhan baru dari Sabang hingga Merauke maupun memperbanyak armada kapal laut perintis terkendala oleh kelambatan masuknya investor. Itu setelah APBN tidak mudah keluar dari lingkaran persoalan defisit primer dan berutang.
Akibatnya, pembangunan tol laut yang kemudian diwaspadai oleh para kritikus sebagai jalan tol untuk armada laut dan udara migrasi penduduk China masuk bermigrasi sebagai diaspora mengadu peruntungan di wilayah territorial Indonesia. Sebuah pembesaran praktek bisnis transmigrasi lintas Negara sebagai kegiatan peruntungan diaspora yang diresistensi.
Sebuah praktek persaingan dikotomi teknokratik pertumbuhan wilayah dari pensuka pemandangan lautan dan pegunungan. Kelimpahan penduduk China menimbulkan gelombang sejarah panjang migrasi ke territorial yang terasa dipandang oleh diaspora lintas Negara lebih lapang dan lebih berpengharapan.
Selanjutnya, pemikiran batas terluar Negara hendak dijadikan sebagai beranda terdepan terkendala oleh tidak adanya cerita sukses di dunia ini. Kisah yang menjadikannya secara cepat dan singkat suatu daerah pinggiran berubah berkembang sama persis menjadi sentral wilayah.
Sungguh sangat sulit menjadikan kinerja pembangunan di pegunungan pencakar langit di Papua dan Papua Barat, atau batas terluar Indonesia dibayangkan akan menjadi sama persis dengan kinerja pembangunan hutan beton Jakarta.
Bukan maksud terpendam untuk serba sama, melainkan sebatas sebagai instrumen bukti perbaikan citra atas revisi orientasi kesenjangan sosial ekonomi. Sungguh pembukaan infrastruktur jalan baru di berbagai pembukaan wilayah yang semula terisolasi sebenarnya memerlukan dukungan migran dan diaspora sumberdaya manusia unggul untuk berhasil bertumbuhkembang.
[***]
Sugiyono Madelanpeneliti INDEF dan dosen Universitas Mercu Buana