Berita

SMI-Darmin/net

Bisnis

Menanti Terobosan Sri Mulyani-Darmin Nasution Di Tengah Kegagalan Mereka Di Reformasi Pajak Jilid II

RABU, 07 JUNI 2017 | 20:12 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

SEKALI lagi, Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani berkebijakan yg jauh dari keadilan sosial. Beberapa saat lalu, Pemerintah mewajibkan sekitar 2,3 juta rekening bersaldo minimal Rp 200 juta untuk melapor ke Ditjen Pajak. Kebijakan kontroversial ini sudah ditolak oleh Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo). Keberatan para pebisnis kecil menengah ini akan mereka sampaikan langsung ke Presiden Jokowi. Aneh sekali Indonesia ini, Presidennya kerakyatan dan berasal dari pengusaha kecil menengah, tapi punya Menteri Keuangan yang sukanya menghambat perkembangan bisnis kecil menengah.

Padahal struktur ekonomi masyarakat kita rentan untuk disusupi radikalisme karena ketimpangan yang sangat buruk. Menurut ekonom senior Rizal Ramli, strukturnya seperti berbentuk “gelas anggur”. Bisnis besar ada di atas diwakili cawan yang gemuk, UMKM ada di tengah diwakili gagangnya yang tipis, dan masyarakat ada di bawah berbentuk alas pipih dari gelas, demikian gambaran majas “gelas anggur tersebut”.

Struktur ekonomi yang ideal seharusnya adalah yang seperti piramida. Suatu struktur yang setiap kelas dalam struktur, atas-tengah-bawah, semuanya gemuk secara proporsional. Pebisnis besar tetap gemuk namun berbentuk limas runcing, UMKM di bagian tengah piramida lebih gemuk, dan masyarakat di bagian bawah adalah yang tergemuk. Demi wujudkan keadilan sosial, seharusnya Pemerintah gigih memberi ruang gerak kepada UMKM, untuk semakin menggemukkan “gagang gelas”. Seharusnya batas pelaporan ke Ditjen Pajak dinaikkan ke atas saldo rekening Rp 1M. Jangan dulu pajaki yang kecil.  

Ketimbang Kejar Rekening UMKM, Lebih Baik Kejar Rekening Taipan di Singapura

Dan demi keadilan sosial juga, Pemerintah wajib menelusuri seluruh rekening dan aset yang ditengarai belum dilaporkan para pebisnis besar karena “tersembunyi” di institusi-institusi tax haven di Singapura? Kenapa dipilih negara tetangga tersebut, tempat di mana Pemerintah harus memusatkan perhatian?

Jawabannya ada pada perkembangan situasi hukum dan keuangan global yang belum lama terjadi. Seperti diinformasikan oleh Anbound, suatu lembaga think tank swasta yang berbasis di Beijing, yang analisanya diberitakan sebagai headlines di media Global Times, Singapura akan segera menggantikan Swiss sebagai “surge” terbaik di dunia bagi para pebisnis besar yang hendak menyimpan rekening dan asetnya.

Setelah terjadinya “gempa” yang disebabkan oleh runtuhnya Hukum Kerahasiaan Perbankan (Bank Secrecy Law) di Swiss, yang usia legislasi ini sudah hampir 200 tahun lamanya, puluhan miliar dollar AS aset milik para pebisnis besar Eropa dan Dunia yang berada di Swiss akan segera pergi dari negara tersebut mencari surga yang lebih baik untuk menyembunyikan aset.  

Surga tersebut kemungkinan besar ada di Singapura. Negeri Singa ini mengalami boom di sektor industri keuangan karena pesatnya pertumbuhan pebisnis besar di kawasan, terutama dari Tiongkoksejak era 1990-an. Berdasarkan data dari Boston Consulting Group (BCG) belum lama ini, ketatnya hukum kerahasiaan perbankan Singapura telah berhasil menarik dana USD 1,1 triliun (Rp 1.400-an triliun) dalam bentuk modal asing. Kucuran modal sebesar itu berhasil memacu pertumbuhan industri keuangan Singapura melampui pesaingnya di Swiss.

Itulah situasi yang terjadi. Kini kita periksa data dana repatriasi dan deklarasi dari Singapura selama program Amnesti Pajak (Tax Amnesty) beberapa waktu lalu, berturut-turut adalah sebesar Rp 84,5 triliun dan Rp 751,2 triliun. Menkeu Sri Mulyani sendiri, di awal program Amnesti Pajak tahun lalu, pernah menyebut bahwa sedikitntya terdapat potensi dana sebesar Rp 2.600 triliun yang tersembunyi di Singapura.

Artinya masih terdapat gap sebesar Rp 1.848 triliun (tanpa menghitung aset non keuangan) dari potensi dana yang belum dideklarasikan, yang berarti potensi pajak ke depan sebesar Rp 554,6 triliun (pasca berakhirnya Amnesti Pajak, dana di luar negeri yang belum dideklarasikan dikenakan pajak 30%). Agar dapat meraih potensi pendapatan pajak yang sangat besar tersebut, Pemerintah Indonesia harus gigih menekan Singapura agar bersedia membuka rekening koran seluruh nasabah asal Indonesia yang selama ini disembunyikan.

Dan hal itu ternyata saat ini bukanlah mustahil. Pemerintah Singapura, melalui badan Inland Revenue Authority of Singapore  (IRAS), pada 30 Desember 2016 telah mengumumkan diimplementasikannya Common Reporting Standard (CRS), suatu standar internasional tentang Otomatisasi Pertukaran Informasi Akun Keuangan atau Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI). Penerapan standar AEOI ini didukung oleh OECD dan Global Forum for Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes, untuk menghalangi dan mendeteksi upaya penghindaran pajak di seluruh Dunia.

Menurut pernyataan badan pemerintah Singapura yang bernama IRAS tersebut, lebih dari 100 jurisdiksi negara di seluruh dunia telah mendukung implementasi CRS dan akan memulai standar AEOI baik pada tahun 2017 maupun 2018. Syukurlah, Indonesia masuk ke dalam 100 juridiksi tersebut dan diharapkan dapat memulai standar AOEI pada 30 Juni 2017, atau hanya berselang 3 minggu lagi. Jadi dalam 3 minggu ini, menurut seorang direktur di Ditjen Pajak, setidaknya terdapat 4 buah undang-undang yang harus disinkronisasi dan sebuah perpu yang harus dikebut Pemerintah dan Parlemen Indonesia bila tidak ingin disebut “gagal memenuhi komitmennya”. Sehingga kita sendirian terpaksa menunda penerapan standar AOEI dan kehilangan momentum emas pendapatan pajak tahun ini.

Negara-negara lain ternyata lebih cepat dari Indonesia, dalam hal mengadakan kesepakatan dengan Singapura untuk secara Otomotis Bertukar Informasi Akun Keuangan (Automatic Exchange of Financial Account Information). Negara-negara yang sudah menandatangani kesepakatan tersebut dengan Singapura adalah: New Zealand -sejak 23 Desember 2016, Estonia -sejak 15 Februari 2017, Lithuania –sejak 24 Februari 2017, Belgia–sejak 13 Maret 2017, Luxemburg –sejak 13 Maret 2017, Denmark –sejak 15 Maret 2017, Perancis –sejak 27 maret 2017, Guernsey –sejak 10 April 2017, dan terakhir Spanyol –sejak 4 Mei 2017.

Pada titik inilah kompetensi Menteri Keuangan Sri Mulyani diuji. Mampu tidak dirinya, dan juga Menko Perekonomian Darmin Nasution, melahirkan terobosan pajak. Kapasitas dirinya dan seluruh jajarannya di Kemenku dan Ditjen Pajak akan dinilai berdasarkan berhasil atau tidaknya para politisi parlemen teryakinkan untuk meloloskan seluruh legislasi dan perpu sesuai komitmen sebelum 30 Juni. Setelah ujian pertama itu lolos, kapasitas diri Sri Mulyani dan Darmin kembali sangat ditunggu dalam melobby Singapura agar bersedia menandatangani  kesepakatan  tersebut dengan Indonesia. Seperti diketahui, Singapura cenderung menghindar bila harus berurusan dengan kewajiban membuka data aset para pebisnis asal Malaysia dan Indonesia. Belum lama ini Malaysia melakukan complain karena ternyata tingkat kerahasiaan (confidentiality) dari informasi nasabah bank-bank Singapura lebih ketat dari bank-bank Swiss. Kenyataan ini telah menghambat laju berbagai investigasi anti korupsi yang sedang dilakukan Malaysia memburu para pebisnis besar yang korup.

Kegagalan Reformasi Perpajakan Jilid II (2009-2015) karya Duet Sri Mulyani-Darmin Nasution

Namun, bila akhirnya Indonesia gagal melakukan kedua langkah tersebut, maka publik kemudian menjadi teringat kembali terkait kegagalan yang mirip yang dilakukan oleh Sri Mulyani pada pemerintahan SBY- juga sebagai menteri keuangan di kabinet.  

Setelah selesai Reformasi Perpajakan Jilid I 2002-2008 (diinisiasi oleh Menkeu Boediono di Kabinet Megawati), Kemenkeu di bawah pimpinan Sri Mulyani berencana melanjutkannya dengan program Reformasi Perpajakan Jilid II yang sekiranya akan berakhir pada 31 Desember 2015.

Untuk mendukung Sri Mulyani, pada 15 Januari 2009 Bank Dunia kemudian menyetujui pinjaman untuk pendanaan Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR) senilai USD 110 juta atau Rp 1,38 triliun (kurs saat itu). Menurut Darmin Nasution, nilai pinjaman Bank Dunia ini hanya sekitar10-15% dari total nilai proyek. Sementara mayoritas anggaran senilai Rp 4 triliun (80-an% dari total nilai proyek) berasal dari APBN, utang, dan hibah (Kompas.com, 17/6/2009). Jadi bila ditotalkan, proyek yang bertujuan mengembangkan SDM Pajak yang berintegritas, proyek PINTAR bertujunan untuk mengembangkan sistem teknologi informasi (TI) perpajakan yang modern (yang belum dimiliki Indonesia bahkan hingga kini), total berjumlah Rp 5,38 triliun.

Namun, apa lacur. Yang kemudian terjadi adalah proyek PINTAR tersebut berjalan lamban dan akhirnya gagal terwujud. Pada 4 Oktober 2014, dalam sebuah publikasi resmi disebutkan bahwa Bank Dunia menarik diri dari posisinya selaku kreditor proyek PINTAR. Publikasi tersebut  berjudul Implementation Status & Results Indonesia Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR) (P100740). Dapat dibaca di dalam dokumen, ternyata Bank Dunia memberikan rating “Tidak Memuaskan” (unsatisfactory) atas kemajuan pada pencapaian Tujuan Pembangunan Proyek atau Project Development Objectives (PDO) yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Selain itu Bank Dunia juga memberikan rating “Tidak Memuaskan” (unsatisfactory) atas kemajuan implementasi keseluruhan atas kinerja Pemerintah/Kemenkeu. Terakhir, Bank Dunia memberikan rating “Tinggi” (high) atas resiko keseluruhan. Disampaikan juga, segala macam pengeluaran (disbursement) telah dihentikan oleh Bank Dunia sudah sejak 15 Agustus 2014. Tercatat hanya sekitar USD 0,28 juta (Rp 3,65 miliar) yang terlanjur dikucurkan Bank Dunia.

Kita bergerak maju. Kira-kira dua tahun kemudian, seperti diberitakan Kantor Berita ANTARA (25/11/2016), dalam suatu acara yang bertema pembentukan Tim Reformasi Perpajakan, Menko Perekonomian Darmin Nasution kembali memberikan klarifikasi atas kegagalan proyek PINTAR -yang dimulai saat Sri Mulyani masih Menkeu dan dirinya Ditjen Pajak di Pemerintahan SBY. Darmin berkata,

"Dulu kita membuat kerja sama dengan Bank Dunia untuk membuat sistem TI yang setara dengan kantor pajak terkemuka di dunia. Itu sudah selesai rancangannya dan seharusnya tuntas 2013. Tapi program itu tidak berjalan, karena semua lelangnya selalu gagal,"

Perhatikan kalimat terakhir: Semua lelangnya selalu gagal. Sepintas kalimat ini biasa saja, tetapi sebenarnya mengandung tanda tanya? Kenapa bisa gagal terus? Lalu, kemana larinya uang negara yang sudah terlanjur keluar? Di sini KPK atau BPK sebenarnya sudah bisa masuk melakukan investigasi dan audit untuk menyelidiki apakah ada kerugian negara dalam proyek PINTAR-- mengingat setiap tahun APBN menyumbang Rp 4 triliun untuk program utama Reformasi Perpajakan Jilid II ini.

Kembali ke berita ANTARA. Menko Darmin mengatakan, bahwa pembentukan Tim Reformasi Perpajakan di era Pemerintahan Jokowi sekarang ini adalah untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan sistem perpajakan yang saat ini masih menimbulkan celah terjadinya korupsi. Darmin juga mengatakan evaluasi ini diperlukan agar Reformasi Sistem Perpajakan tidak lagi melahirkan upaya penyelewengan dan pelanggaran hukum.

Merasa ada yang aneh? Ya tentu saja aneh. Ini program Reformasi Perpajakan Jilid II terjadi saat Darmin masih Dirjen Pajak dan Sri Mulyani Menkeu tahun 2009. Tujuh tahun kemudian di tahun 2016, orang-orang yang sama, bedanya Darmin kini sebagai Menko Perekonomian dan Sri Mulyani tetap sebagai Menkeu, mendirikan sebuah tim yang bertugas mengevaluasi program Reformasi Perpajakan Jilid II yang mereka buat dulu. Tapi bukan ini bagian yang terpenting.

Bagian terpenting adalah: selalin untuk mengembangkan TI perpajakan yang modern, Reformasi Perpajakan Jilid II juga bertujuan untuk mengembangkan SDM yang berintegritas, jujur. Nah, dengan pernyataan Darmin sendiri di ANTARA bahwa masih terdapat penyelewengan dan pelanggaran hukum, saya simpulkan, sebagai pengamat: baik Sri Mulyani maupun Darmin telah gagal dalam menyelenggarakan Reformasi Perpajakan di Indonesia!.[***]

Gede Sandra
Penulis adalah peneliti ekonomi politik di Lingkar Studi Perjuangan (LSP) 

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya