Kasus aksi persekusi yang dialami dokter Fiera Lovita bukan pertama kali terjadi. Dalam catatan Organisasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) terdapat 59 kasus serupa selama tahun 2017.
Regional Coordinator Safenet Damar Juniarto menjelaskan dari jumlah itu korban yang terbanyak berasal dari wilayah Jawa Barat.
Menurutnya, aksi persekusi muncul sejak kasus penodaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi terpidana. Dari kasus tersebut laporan mengenai pasal 28 ayat 2 UU ITE meningkat dengan drastis. Hal itu dinilai Damar merupakan effek dari kasus Ahok.
"Setelah Ahok divonis bersalah muncul tindakan persekusi atau pemburuan atas akun-akun yang dianggap menghina agama atau ulama di media sosial," ujarnya dalam jumpa pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/6).
Lebih lanjut, Damar menilai, aksi persekusi sudah tidak tersebar di Jawa Barat melainkan ke daerah lain di Indonesia. Salah satu contohnya yakni peristiwa yang dialami dr Fiera Lovita. Fiera yang bekerja di RSUD Solok, Sumatera Barat menjadi korban persekusi.
Tak hanya itu, menurut Damar korban persekusi tidak memilih gender. Semua kalangan, terutama mereka yang dianggap lemah atau tidak memiliki kekuatan bakal menjadi korban. Targetnya adalah nitizen yang menulis status di media sosial dengan konten yang berbeda pendapat dengan pelaku persekusi.
"Kalau dilihat-lihat dari sebarannya sudah merata, nggak ada area yang tidak tercover dari persekusi ini. Jumlahnya merata, laki-laki atau perempuan sama saja, yang paling muda 15 tahun," ujarnya.
Lantas bagaimana cara pelaku persekusi melancarkan aksinya hingga berujung pada tindakan nyata.
Damar menjelaskan persekusi merupakan perbuatan yang sistematis dan memiliki jangkauan yang sangat luas. Aksi persekusi sambung Damar berawal di dunia maya dan berujung pada aksi nyata.
Perubahan aksi di dunia maya ke tindakan nyata ini memiliki empat tahapan. Pertama,
Pelaku akan mengambil menangkap pernyataan seseorang di media sosial yang berbeda pendapat dengan pelaku. Setelah itu, mencari detail informasu mengenai targetnya.
Tahap kedua, hasil dari capture postingan tersebut akan disebarkan ke jaringan yang sependapat dengan pelaku. Tahapan ini menjadi penggerak untuk menggalang massa sebanyak-banyaknya. Terlebih massa akan terprovokasi dengan penambahan kata-kata dalam capture postingan target.
"(Tahap) Kedua ajakan 'berburu' dilakukan dengan membuat mobilisasi dengan pengumuman dan koordinasi," ujarnya.
Tahap ketiga merupakan proses menekan target untuk menyatakan permohonan maaf. Dalam tahapan ini jugalah pelaku membeberkan perbuatan yang target benar-benar dilakukan.
"Pelaku akan menjelaskan apa yang membuat targetnya melakukan permohonan minta maaf. Tahapan terakhir adalah proses kriminalisasi kepada target. Pelaku akan membawa target persekusi ke kepolisian. Mereka langsung meminta kepada polisi untuk melakukan penahanan target dengan tuduhan fitnah atau pencemaran nama baik," demikian Damar.
[san]