. Fraksi-fraksi di DPR diminta agar merampungkan pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang sudah mepet. RUU ini akan digunakan untuk Pemilu 2019 yang tahapannya sudah dimulai September 2017.
"Tidak apa-apa berkompromi asalkan berbasis pada kepentingan rakyat," kata pengamat politik Said Salahudin saat dihubungi redaksi, Rabu (24/5).
Terkait persoalan ambang batas persyaratan calon presiden (presidential threshold) yang masih tarik-ulur, Said menilai keberadaan presidential threshold sebaiknya ditiadakan saja, dan itu sesuai amanat Mahkamah Konstitusi.
"Kenapa tidak ada (
presidential threshold), supaya rakyat punya kesempatan lebih banyak memilih pasangan capres-cawapres," ujarnya.
Dan dengan peniadaan
presidential threshold, maka tidak akan ada pembedaan terhadap partai lama dan partai baru dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. Sehingga unsur, norma, syarat dan hak setiap parpol sama di depan konstitusi.
Said melanjutkan, tidak usah khawatir dengan rencana peniadaan
presidential threshold. Pasalnya, dengan penghapusan
presidential threshold pun, paling banter akan ada enam pasangan capres-cawapres dan bisa mengerucut tiga pasangan.
"Itu dengan asumsi partainya ada 10 sampai 12," lanjutnya.
Dan dengan pertimbangan politik di Indonesia, tidak adanya parpol yang mendominasi, ditambah tidak ada figur yang dominan, dan biaya pencapresan yang tidak sedikit, bisa dipastikan parpol-parpol akan berkoalisi.
Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 juga mengamanatkan, 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden'.
Dengan begitu, sebut Said, tidak mudah bagi setiap parpol memunculkan calon sendiri. Mereka pasti akan tetep berkoalisi.
"Percaya sama saya. Pilpres 2014 lalu misalnya, kan bisa saja empat pasangan, tapi nyatanya hanya dua pasangan," pungkasnya.
[rus]