Syafruddin Temenggung /Net

X-Files

Kurang Bukti, Eks Kepala BPPN Cabut Gugatan Terhadap KPK

Praperadilan Kasus Surat Lunas BLBI
SELASA, 16 MEI 2017 | 09:45 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

rmol.idBekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung mencabut gugatannya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pencabutan itu dilakukan dalam sidang perdana praperadilan mengenai penetapan Syafruddin sebagai tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) ob­ligor BLBI Sjamsul Nursalim, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin.

Persidangan yang dipimpin hakim tunggal Rusdiyanto Loleh itu dibuka menjelang pukul 11 siang. Usai mengetuk palu pembukaan sidang, Rusdiyanto mempersilakan tim kuasa hu­kum bicara duluan.

Muhammad Ridwan, kuasa hukum Syafruddin menyampai­kan mencabut permohonan prap­eradilan. Hakim Rusdiyanto pun menyetujuinya. "Permohonan tersebut dinyatakan tercabut," putusnya sambil mengetuk palu. Sidang yang berlangsung tak sampai seperempat jam itu ke­mudian ditutup.

Ridwan berdalih mencabut gugatan terhadap KPK lantaran masih kurang bukti. "Kami akan menyempurnakan dulu permo­honan (praperadilan ini). Ada informasi baru," ujarnya.

Ia akan melengkapi berkas gugatan dengan bukti yang menunjukkan KPK tak berwenang mengusut kasus terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Ini info penting. Jadi perlu dimasukkan untuk me­nyempurnakan surat permohonan (praperadilan)," tandasnya.

Untuk diketahui, Syafruddin mengajukan sejumlah tuntutan (petitum) dalam gugatan prap­eradilan terhadap KPK.

Ia meminta pengadilan membatalkan surat perintah penyidikan nomor: Sprin.Dik-19/01/03/2017, tertanggal 20 Maret 2017 yang menetapkan dirinya sebagai tersangka.

"Menyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik -19/01/03/2017, ter­tanggal 20 Maret 2017 yang me­netapkan pemohon Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka", tulis Syafruddin dalam surat tuntutan.

Ia juga meminta hakim me­nyatakan seluruh proses peny­idikan yang dilakukan KPK tidak sah, termasuk penerbitan surat perintah penyidikan yang mencantumkan namanya seba­gai tersangka.

"Termohon (KPK—red) tidak memiliki dua alat bukti yang cukup sesuai Pasal 184 KUHAP dalam menetapkan pemohon tersangka dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi", dalih Syafruddin dalam surat tuntutan.

Syafruddin juga mempersoal­kan proses penyelidikan kasus ini dianggap tidak berdasarkan hukum. Sebab, penyelidiknya dinilai tidak sesuai Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Lebih lanjut, Syafruddin me­minta hakim menyatakan KPK tidak berwenang melakukan pe­nyelidikan, penyidikan, dan pe­nuntutan kasus ini. Ia beralasan kasus ini bukan perkara tindak pidana korupsi yang menjadi ke­wenangan KPK. "Perkara a quo merupakan ranah hukum perdata yang harus diselesaikan oleh pengadilan umum dalam lingkup hukum perdata," sebutnya.

KPK, nilainya, tidak bisa melakukan penyidikan perkara yang terjadi sebelum lembaga itu berdiri. Syafruddin menye­but penerbitan SKL terhadap Sjamsul Nursalim termasuk da­lam Perjanjian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) yang diteken tanggal 21 September 1998.

Syafruddin beralasan mener­bitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim karena melaksanakan perintah jabatan (ambtelijk bev­el) yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. "Sehingga Pasal 51 ayat 1 KUHP tidak dapat dipidana," ujarnya.

Terakhir dia meminta hakim menyatakan tidah sah surat permintaan pencegahan dirinya bepergian ke luar negeri, dan me­merintahkan KPK mencabutnya.

Bagaimana reaksi KPK atas gugatan ini? Lewat juru bicaranya, Febri Diansyah, komisi antirasuah itu menyatakan bakal meladeni Syafruddin di pengadilan. "KPK siap menghadapi segala tuntutan hukum dari tersangka. Itu kon­sekuensi hukum yang logis dan perlu dihormati," ujar Febri.

Bekas aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu me­nandaskan KPK sangat hati-hati melakukan penyelidikan kasus dug­aan korupsi penerbitan SKL obligor Sjamsul Nursalim. KPK menaikkan status kasus ini ke penyidikan dan menetapkan Syafruddin sebagai tersangka lantaran telah memiliki alat bukti yang cukup.

Pihaknya akan menyiapkan argumen untuk mematahkan pendapat Syafruddin di penga­dilan nanti, termasuk anggapan KPK tidak berwenang mengusut kasus ini. "Tapi kita akan serah­kan (keputusannya) pada hakim. Apapun putusan akan dihor­mati," tandas Febri.

Kilas Balik
Pelaku Suap Kasus BLBI, Ayin & Urip Dapat Bebas Bersyarat

Pengusutan kasus BLBI Sjamsul Nursalim di Kejaksaan Agung diwarnai suap. KPK pun menciduk jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani alias Ayin dengan barang bukti uang 660 ribu dolar Amerika.

Pengusutan kasus BLBI oleh Kejagung dimulai pada 23 Juli 2007. Kejagung membentuk tim penyelidik yang terdiri 35 jaksa terbaik dari berbagai daerah. Tim dibagi dalam dua. Salah satu tim dipimpin Urip Tri Gunawan, bekas Kepala Kejaksaan Negeri Klungkung, Bali. Tim Urip menangani kasus BLBI terkait BDNI.

Tim lain dipimpin Sriyono yang menangani BLBI terkait Bank Central Asia (BCA). Pada 30 Oktober 2007, tim yang diper­caya menangani kasus BLBI itu diberi tenggat waktu selesainya penyelidikan pada 30 Oktober 2007. Tetapi, ternyata tidak bisa dipenuhi karena kesulitan mem­peroleh dokumen dan bukti.

Di tengah proses penyidi­kan kasus BLBI, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rachman ditengarai untuk kedua kal­inya, setelah 2 September 2007, pergi ke Singapura, bukan mela­lui Bandara Soekarno-Hatta, tetapi melalui Batam. Sjamsul Nursalim tinggal di Singapura sejak 2001.

Di penghujung 2007, Kejagung memperpanjang penyelidikan selama dua bulan, yakni sampai 29 Februari 2008.

Pada 17 Januari 2008, Sjamsul Nursalim dijadwal akan diper­iksa gedung bundar Kejagung. Tapi hingga petang, eks pemi­lik BDNI itu tak datang. Pada petang itu, justru Artalyta Suryani datang dan langsung masuk gedung bundar.

Pada 15 Februari 2008, Ayin dikabarkan datang ke gedung bundar, bertepatan dengan hari ulang tahun JAM Pidsus Kemas Yahya. Tidak ada keterangan pasti apakah Ayin bertemu Kemas.

Dua hari menjelang pengumu­man penghentian penyelidikan kasus BLBI Sjamsul Nursalim, pada 27 Februari 2008, Ayin dikabarkan sempat menemui Urip di ruang kerjanya di lantai III Nomor 7 di gedung bundar.

Pada batas akhir 29 Februari 2008, Kemas mengumumkan, penyelidikan kasus BLBI, terkait BDNI dan BCA, tidak menemu­kan perbuatan melawan hukum sehingga harus dihentikan.

Pada 2 Maret 2008 pukul 13.00, jaksa Urip meninggalkan hotel tempatnya menginap di kawasan Kota, Jakarta. Dia men­gendarai mobil Toyota Kijang LGX silver berpelat nomor DK 1832 CF (Bali) menuju ka­wasan Simprug, Jakarta Selatan. Petugas KPK yang sudah mem­buntutinya sejak 27 Februari mengekor dari belakang.

Pukul 14.00, Urip sampai dan masuk pintu gerbang rumah di Jalan Terusan Hang Lekir II, Kavling WG9, RT06 RW 09, Grogol Selatan, Simprug, Jakarta Selatan. Rumah itu milik Sjamsul Nursalim.

Pukul 16.30, Mobil Urip keluar dan segera ditangkap petugas KPK. Di dalam mobilnya ditemukan kardus minuman rin­gan berisi uang 660 ribu dollar Amerika atau setara dengan Rp 6,1 miliar. Urip pun digelandang ke KPK. Penyidik KPK lalu menciduk Ayin yang sempat mengurung diri di kamar di lantai dua rumahnya.

Pengadilan Tipikor Jakarta akh­irnya menghukum Ayin dijatuhi hukuman penjara 5 tahun karena menyuap Urip. Hukumannya tak berubah hingga kasasi. Di tingkat peninjauan kembali (PK), Ayin mendapat pemotongan hukuman menjadi 4,5 tahun penjara. Ayin bebas bersyarat pada 28 Januari 2011. ***

Populer

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

KPK Kembali Panggil Pramugari Tamara Anggraeny

Kamis, 13 Maret 2025 | 13:52

Ekonom: Hary Tanoe Keliru Bedakan NCD dan ZCB

Kamis, 13 Maret 2025 | 19:53

UPDATE

Loyalis Jokowi, Jeffrie Geovanie Sangat Tidak Layak Gantikan Menteri BUMN Erick Thohir

Sabtu, 15 Maret 2025 | 11:22

Rapor IHSG Sepekan Lesu, Kapitaliasi Pasar Anjlok Rp215 Triliun

Sabtu, 15 Maret 2025 | 11:07

DJP: Pajak Ekonomi Digital Capai Rp33,56 Triliun hingga Akhir Februari 2025

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:47

Kualitas Hilirisasi Ciptakan Lapangan Kerja Lebih Luas

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:44

Pengacara Klaim Duterte Diculik karena Dendam Politik

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:19

Harga Emas Antam Lebih Murah Hari Ini Usai Cetak Rekor Tertinggi

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:08

Menko Airlangga Ajak Pengusaha Gotong Royong

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:48

Fraksi PAN Salurkan 3.000 Paket Sembako untuk Rakyat

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:47

Universitas Columbia Cabut Gelar Akademik 22 Mahasiswa

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:34

Tanggapi Usulan Menhub, Kadin: Tidak Semua Usaha Bisa Terapkan WFA Saat Mudik

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:13

Selengkapnya