Bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung mencabut gugatannya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pencabutan itu dilakukan dalam sidang perdana praperadilan mengenai penetapan Syafruddin sebagai tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obÂligor BLBI Sjamsul Nursalim, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin.
Persidangan yang dipimpin hakim tunggal Rusdiyanto Loleh itu dibuka menjelang pukul 11 siang. Usai mengetuk palu pembukaan sidang, Rusdiyanto mempersilakan tim kuasa huÂkum bicara duluan.
Muhammad Ridwan, kuasa hukum Syafruddin menyampaiÂkan mencabut permohonan prapÂeradilan. Hakim Rusdiyanto pun menyetujuinya. "Permohonan tersebut dinyatakan tercabut," putusnya sambil mengetuk palu. Sidang yang berlangsung tak sampai seperempat jam itu keÂmudian ditutup.
Ridwan berdalih mencabut gugatan terhadap KPK lantaran masih kurang bukti. "Kami akan menyempurnakan dulu permoÂhonan (praperadilan ini). Ada informasi baru," ujarnya.
Ia akan melengkapi berkas gugatan dengan bukti yang menunjukkan KPK tak berwenang mengusut kasus terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Ini info penting. Jadi perlu dimasukkan untuk meÂnyempurnakan surat permohonan (praperadilan)," tandasnya.
Untuk diketahui, Syafruddin mengajukan sejumlah tuntutan (petitum) dalam gugatan prapÂeradilan terhadap KPK.
Ia meminta pengadilan membatalkan surat perintah penyidikan nomor: Sprin.Dik-19/01/03/2017, tertanggal 20 Maret 2017 yang menetapkan dirinya sebagai tersangka.
"Menyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik -19/01/03/2017, terÂtanggal 20 Maret 2017 yang meÂnetapkan pemohon Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka", tulis Syafruddin dalam surat tuntutan.
Ia juga meminta hakim meÂnyatakan seluruh proses penyÂidikan yang dilakukan KPK tidak sah, termasuk penerbitan surat perintah penyidikan yang mencantumkan namanya sebaÂgai tersangka.
"Termohon (KPK—red) tidak memiliki dua alat bukti yang cukup sesuai Pasal 184 KUHAP dalam menetapkan pemohon tersangka dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi", dalih Syafruddin dalam surat tuntutan.
Syafruddin juga mempersoalÂkan proses penyelidikan kasus ini dianggap tidak berdasarkan hukum. Sebab, penyelidiknya dinilai tidak sesuai Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Lebih lanjut, Syafruddin meÂminta hakim menyatakan KPK tidak berwenang melakukan peÂnyelidikan, penyidikan, dan peÂnuntutan kasus ini. Ia beralasan kasus ini bukan perkara tindak pidana korupsi yang menjadi keÂwenangan KPK. "Perkara a quo merupakan ranah hukum perdata yang harus diselesaikan oleh pengadilan umum dalam lingkup hukum perdata," sebutnya.
KPK, nilainya, tidak bisa melakukan penyidikan perkara yang terjadi sebelum lembaga itu berdiri. Syafruddin menyeÂbut penerbitan SKL terhadap Sjamsul Nursalim termasuk daÂlam Perjanjian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) yang diteken tanggal 21 September 1998.
Syafruddin beralasan menerÂbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim karena melaksanakan perintah jabatan (ambtelijk bevÂel) yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. "Sehingga Pasal 51 ayat 1 KUHP tidak dapat dipidana," ujarnya.
Terakhir dia meminta hakim menyatakan tidah sah surat permintaan pencegahan dirinya bepergian ke luar negeri, dan meÂmerintahkan KPK mencabutnya.
Bagaimana reaksi KPK atas gugatan ini? Lewat juru bicaranya, Febri Diansyah, komisi antirasuah itu menyatakan bakal meladeni Syafruddin di pengadilan. "KPK siap menghadapi segala tuntutan hukum dari tersangka. Itu konÂsekuensi hukum yang logis dan perlu dihormati," ujar Febri.
Bekas aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu meÂnandaskan KPK sangat hati-hati melakukan penyelidikan kasus dugÂaan korupsi penerbitan SKL obligor Sjamsul Nursalim. KPK menaikkan status kasus ini ke penyidikan dan menetapkan Syafruddin sebagai tersangka lantaran telah memiliki alat bukti yang cukup.
Pihaknya akan menyiapkan argumen untuk mematahkan pendapat Syafruddin di pengaÂdilan nanti, termasuk anggapan KPK tidak berwenang mengusut kasus ini. "Tapi kita akan serahÂkan (keputusannya) pada hakim. Apapun putusan akan dihorÂmati," tandas Febri.
Kilas Balik
Pelaku Suap Kasus BLBI, Ayin & Urip Dapat Bebas Bersyarat
Pengusutan kasus BLBI Sjamsul Nursalim di Kejaksaan Agung diwarnai suap. KPK pun menciduk jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani alias Ayin dengan barang bukti uang 660 ribu dolar Amerika.
Pengusutan kasus BLBI oleh Kejagung dimulai pada 23 Juli 2007. Kejagung membentuk tim penyelidik yang terdiri 35 jaksa terbaik dari berbagai daerah. Tim dibagi dalam dua. Salah satu tim dipimpin Urip Tri Gunawan, bekas Kepala Kejaksaan Negeri Klungkung, Bali. Tim Urip menangani kasus BLBI terkait BDNI.
Tim lain dipimpin Sriyono yang menangani BLBI terkait Bank Central Asia (BCA). Pada 30 Oktober 2007, tim yang diperÂcaya menangani kasus BLBI itu diberi tenggat waktu selesainya penyelidikan pada 30 Oktober 2007. Tetapi, ternyata tidak bisa dipenuhi karena kesulitan memÂperoleh dokumen dan bukti.
Di tengah proses penyidiÂkan kasus BLBI, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rachman ditengarai untuk kedua kalÂinya, setelah 2 September 2007, pergi ke Singapura, bukan melaÂlui Bandara Soekarno-Hatta, tetapi melalui Batam. Sjamsul Nursalim tinggal di Singapura sejak 2001.
Di penghujung 2007, Kejagung memperpanjang penyelidikan selama dua bulan, yakni sampai 29 Februari 2008.
Pada 17 Januari 2008, Sjamsul Nursalim dijadwal akan diperÂiksa gedung bundar Kejagung. Tapi hingga petang, eks pemiÂlik BDNI itu tak datang. Pada petang itu, justru Artalyta Suryani datang dan langsung masuk gedung bundar.
Pada 15 Februari 2008, Ayin dikabarkan datang ke gedung bundar, bertepatan dengan hari ulang tahun JAM Pidsus Kemas Yahya. Tidak ada keterangan pasti apakah Ayin bertemu Kemas.
Dua hari menjelang pengumuÂman penghentian penyelidikan kasus BLBI Sjamsul Nursalim, pada 27 Februari 2008, Ayin dikabarkan sempat menemui Urip di ruang kerjanya di lantai III Nomor 7 di gedung bundar.
Pada batas akhir 29 Februari 2008, Kemas mengumumkan, penyelidikan kasus BLBI, terkait BDNI dan BCA, tidak menemuÂkan perbuatan melawan hukum sehingga harus dihentikan.
Pada 2 Maret 2008 pukul 13.00, jaksa Urip meninggalkan hotel tempatnya menginap di kawasan Kota, Jakarta. Dia menÂgendarai mobil Toyota Kijang LGX silver berpelat nomor DK 1832 CF (Bali) menuju kaÂwasan Simprug, Jakarta Selatan. Petugas KPK yang sudah memÂbuntutinya sejak 27 Februari mengekor dari belakang.
Pukul 14.00, Urip sampai dan masuk pintu gerbang rumah di Jalan Terusan Hang Lekir II, Kavling WG9, RT06 RW 09, Grogol Selatan, Simprug, Jakarta Selatan. Rumah itu milik Sjamsul Nursalim.
Pukul 16.30, Mobil Urip keluar dan segera ditangkap petugas KPK. Di dalam mobilnya ditemukan kardus minuman rinÂgan berisi uang 660 ribu dollar Amerika atau setara dengan Rp 6,1 miliar. Urip pun digelandang ke KPK. Penyidik KPK lalu menciduk Ayin yang sempat mengurung diri di kamar di lantai dua rumahnya.
Pengadilan Tipikor Jakarta akhÂirnya menghukum Ayin dijatuhi hukuman penjara 5 tahun karena menyuap Urip. Hukumannya tak berubah hingga kasasi. Di tingkat peninjauan kembali (PK), Ayin mendapat pemotongan hukuman menjadi 4,5 tahun penjara. Ayin bebas bersyarat pada 28 Januari 2011. ***