Basuki Tjahaja Purnama/Repro
Tuntutan jaksa terhadap terdakwa kasus penistaan agama, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama masih mendapat sorotan tajam. Terlebih jelang vonis pada 9 Mei nanti.
Seperti diutarakan Juju Purwantoro dari Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) yang menilai jaksa penuntut umum (JPU) kasus Ahok dalam tuntutannya terkesan tidak profesional, penuh nuansa politik, dan melakukan tugas di luar kewenangannya (abuse of power).
"JPU tidak menerapkan pasal 156a huruf a KUHP yang merupakan tindak pidana yang memang benar membahayakan kepentingan suatu agama, karena pernyataan Ahok yang ditujukan kepada agama Islam dengan menyebut langsung QS Al Maidah 51," papar Juju melalui siaran persnya, Senin (1/5).
Sebaliknya JPU malah memfokuskan pada KUHP pasal 156 tentang menyebarkan kebencian kepada suatu golongan.
"Padahal sanksi hukumnya lebih ringan, dan mengabaikan perihal penodaan agama dengan sanksi hukum yang lebih berat," kritiknya.
JPU juga dinilainya melemahkan bukti-fakta persidangan, yaitu dengan mengabaikan/menyembunyikan saksi-saksinya sendiri yang sudah membuktikan unsur pidana penodaan agama yang lebih memberatkan Ahok. Ironisnya lagi, JPU turut menyalahkan Buni Yani dengan menyatakan perkara tersebut disebabkan olehnya.
"JPU seharusnya paham bahwa secara kausalitas masing- masing terpisah proses hukumnya," jelas Juju.
Dengan menyatakan tidak ada bukti menista agama dan membenarkan bahwa QS Al Maida 51 adalah multitafsir, menurut dia, JPU terkesan jelas membela Ahok. Bahkan lanjut dia, tidak relevan JPU menyatakan Ahok telah berjasa membangun Jakarta, sehinga hukumannya patut diringankan.
Kemudian dalam menuntut Ahok setahun penjara dengan masa percobaan bersyarat dua tahun alias tidak dipenjara), masih kata Juju, jelas keliru secara yuridis.
"Sesuai pasal 14 c KHUP yang memutuskan tentang percobaan atau bersyarat semestinya hakim, bukan JPU," terangnya.
Tim Advokasi dan Hukum Bang Japar pun berharap dalam memutus perkara Ahok nanti, hakim bertindak harus sesuai hati nuraninya, yaitu; adil, bebas, mandiri, tidak dalam tekanan/intervensi siapapun.
"Para hakim juga dalam memutus perkara tersebut diharapkan tidak hanya menerapkan hukum positif, tapi juga dapat mempertimbangkan dan menggali nilai-nilai agama Islam yang dianut dan harus dilindungi dalam masyarakat," pintanya.
Juju menegaskan, pelaku pidana penodaan agama harusnya dihukum berat, karena dapat mengancam keutuhan NKRI, dan merusak sendi-sendi kebebasan keyakinan bagi para pemeluknya, sesuai konsitusi UUD 1945.
[wid]