Semangat untuk menegakkan syariat Islam di Jakarta adalah sesuatu yang mubazir atau sia-sia.
Demikian disampaikan salah satu tokoh muda intelektual muslim, Mohammad Monib, dalam siaran persnya (Senin, 17/4).
Monib mengungkapkan hal itu menyusul kampanye Jakarta Bersyariah oleh sejumlah Ormas yang memanfaatkan momentum Pilkada DKI Jakarta.
Monib menjelaskan, banyak alasan rasional untuk menyebut Jakarta Bersyariah sebagai program mubazir.
“Dalam bahasa Nabi, Da'ma yuribuka ila ma la yuribuka. Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada hal-hal yang penuh kepastian,†kata aktivis Indonesia Conference on Religion and Peace ini.
Monib yang pernah mengajar di Universitas Paramadina malah bertanya-tanya adakah model "negara syariat" yang Rasul contohkan.
Dijelaskannya bahwa Madinah adalah "negara sekuler" dalam arti Rasul mengelolanya secara rasional, ramah kebhinnekaan, disatukan berdasarkan komitmen sosial dan kebangsaan demografi muslim, Yahudi dan Paganistik.
Menurut Monib, syariah merupakan proses dan esensi keislaman; yaitu menegakkan keadilan, keamanan, kesejahteraan, kebersamaan ketentraman, keharmonisan dan non-diskriminatif.
Syariah, masih menurut Monib, juga berarti tidak ada warga negara kelas dua.
“Semua warga setara dalam hukum keadaban dan beradab," tegasnya.
Monib menyebut pengusung Jakarta Bersyariah memakai kacamata kuda.
“Tolong sebutkan mana negara bersyariah yang kreatif, inovatif, teknologi dan ipteknya maju? Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi?Tolong tengok kondisi keamanan dan ketentraman di negara itu. Jauh kalah dalam semua bidang dari negara-negara sekuler,†terangnya.
Dia menekankan lagi bahwa mengusung slogan Jakarta Bersyariah merupakan kemunduran nalar dan tidak realistis melihat peradaban modern.
"Jangan jadikan Jakarta model Kabul dan Karachi. Mengerikan dan memalukan,†tegas Monib.
[ian]