Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani mengatakan pihaknya akan mempertanyakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam rapat kerja terkait banyak kasus yang mangkrak. Salah satunya kasus dugaan penggelapan saham oleh Recapital Grup milik Rosan Perkasa Roeslani.
"Tidak usah panggil (Kapolri), nanti dijadwalkan ada raker tanggal 18 April kalau tidak salah atau 19 April. Yang saya inget cuma itu," kata Arsul di Gedung DPR, Jumat (7/4)
Menurut dia, pihak pelapor atau masyarakat berhak mempertanyakan perkembangan kasus yang dilaporkannya kepada kepolisian karena tidak ada larang. Namun, seharusnya Kapolri Tito bekerja profesional dalam menangani suatu perkara.
"Karena Pak Tito memiliki program promoter, itu kan harusnya ada patokan penanganan perkara. Jadi boleh-boleh saja (pelapor menanyakan kasusnya), itu kan tidak dilarang. Persoalannya, alat buktinya mencukupi atau tidak," tambah Asrul.
Anggota Fraksi PPP ini menilai ada beberapa kendala yang membuat banyak kasus mangkrak, paling tradisional itu penyidiknya kesulitan mengumpulkan alat bukti. Sebab, minimal harus memiliki dua alat bukti sesuai aturan hukum.
Kemudian, kata Arsul, kasus itu karena katakanlah kepentingan. Memang, hal ini tidak bisa ditutupi karena kadang-kadang terutama di daerah-daerah itu misalnya ada persoalan dua orang tapi karena lawan politik atau lawan bisnis. Salah satunya itu melaporkan ke Polisi, padahal itu bukan perkara pidana.
"Nah yang begini-begini kemudian dihitung sebagai kasus mandek karena memang ternyata tidak bisa terpenuhi unsur, tidak bisa dicari dua alat bukti permulaan yang cukup itu," jelas dia.
Sebelumnya, Denny Kailimang selaku kuasa hukum dari Lunardi Wijaya selaku pemegang saham lama PT Bank Eksekutif International Tbk (Bank Eksekutif) mengirimkan surat untuk Kepala Bareskrim Polri, Komjen Ari Dono Sukmanto pada 27 Maret 2017.
Surat itu berisikan permohonan supaya Polri mempercepat penyidikan kasus dugaan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan pemilik Recapital Grup, Rosan Perkasa Roeslani bersama kawan-kawan seperti di laporan polisi Nomor LP/1295/XI/2015 tertanggal 11 November 2015.
"‎Benar, sesuai dengan isi suratnya permintaan ke Kapolri Jenderal Tito Karnavian," kata Denny.
Rosan juga merupakan ketua umum kamar dagang dan industri (kadin) dilaporkan ke polisi karena dituduh telah melakukan tindak pidana penggelapan dana dan pencucian uang pembelian saham BEKS. Nilai penggelapan dan pencucian uang yang dituduhkan itu setara dengan 1,3 kali harga nilai buku BEKS.
Berdasarkan peraturan BI Nomor 10/15/PBI/2008, Lunardi sebagai pemegang saham lama telah menyetorkan dana segar sebagai tambahan modal BEKS senilai dari Rp 129.638.292.489.
"Para pemegang saham telah setuju untuk menjual kepada pembeli seluruh cadangan tambahan modal perseroan tersebut," kata Denny.
Laporan ke polisi itu terjadi karena Rosan belum pernah membayar pembelian 676.715.000 lembar saham BEKS milik Lunardi Wijaya dan keluarganya. Jumlah saham itu setara dengan 79,25 persen dari seluruh saham BEKS yang telah dikeluarkan dan disetor penuh per 26 Mei 2010.
Pada tanggal 22 Juli 2010, seluruh proses akuisisi seluruh saham milik Lunardi Wijaya oleh Recapital Securitas (RCS) telah selesai. Namun, Lunardi sebagai pemegang saham lama BEKS tidak pernah menerima pembayaran apapun atas 676.715.000 saham BEKS dari RCS maupun afiliasinya.
Padahal, saat ini Rosan telah menjadi pemegang saham pengendali BEKS dengan jumlah saham 7.296.964.802 lembar atau setara 67,85 persen dari total saham yang telah dikeluarkan.
Bahkan, Rosan kini juga telah mengganti nama BEKS menjadi Bank Pundi Tbk dan pergantian nama itu juga telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.
Celakanya, ternyata PT Bank Pundi Tbk itu telah dijual oleh Rosan kepada PT Banten Global Development. Akuisisi Bank Pundi oleh BUMD Pemerintah Provinsi Banten itu melalui penandatanganan kesepakatan jual beli saham pada 11 Maret 2016, antara PT Banten Global Gevelopment dengan PT Recapital Securitas.
"Untuk menghindari kerugian negara atas transaksi yang masih dalam proses hukum di Kepolisian RI, maka klien kami juga telah melaporkan hal ini ke KPK pada 29 Juli 2016," demikian Denny.
[san]