Berita

Ilustrasi/net

Politik

Jangan Menilai Sektor Tembakau Dengan Satu Sudut Pandang

SENIN, 27 FEBRUARI 2017 | 03:19 WIB | LAPORAN: ALDI GULTOM

Isu pertembakauan tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi, misalnya sisi kesehatan semata. Di sana, ada aspek penerimaan negara, industri, petani dan jutaan tenaga kerja yang mesti lebih diperhatikan.

Begitu dikatakan Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menanggapi penolakan berbagai kelompok terhadap RUU Pertembakauan dengan berbagai dalih. Salah satunya oleh Dewan Penasehat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Emil Salim, yang di sebuah koran nasional menyebut RUU itu hanya akan menjerumuskan generasi muda bangsa ke dalam jurang kehancuran.

Sejatinya, kata Enny, semua hal yang berkaitan pertembakauan nasional sudah diatur melalui roadmap industri yang disusun pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian.


Soal kritikan yang terus muncul ke industri, menurut Enny selalu datang dari kelompok yang disponsori oleh Bloomberg melalui program The Bloomberg Iniative to Reduce Tobacco.

Menurut Enny, seharusnya masing-masing kelompok, baik pro atau anti RUU Pertembakauan, tidak menggunakan sudut pandang sempit yang hanya berujung pada lobi-lobi dalam setiap penentuan keputusan regulasi.

"Menurut saya, jangan sampai terjadi seperti itu. Semua penting. Bagaimana mengakomodasi semuanya," tegas Enny, dalam siaran pers yang diterima redaksi.    

Enny melihat ada kecenderungan menilai industri rokok dalam kaca mata hitam putih. Kelompok anti tembakau menganggap tembakau hanya akan merusak generasi di masa depan. Sementara industri berpikir punya hak hidup karena selama ini menyetor lebih dari Rp 139 triliun ke negara. Di sisi lain, dengan uang cukai sebesar itu, negara akan berpikir keras agar tidak sampai kehilangan pemasukan.

Semestinya, pembahasan tembakau ini bisa diselaraskan dengan berpikir jangka panjang seperti tertera di roadmap industri. Sayangnya, isu pemasukan negara, industri, tenaga kerja, dan kesehatan tidak pernah dibahas serius kompehensif. Akhirnya, ada kelompok tertentu menilai tembakau begitu buruk.

Di roadmap Badan Kebijakan Fiskal 2006-2020, jelas bahwa kebijakan tembakau berpatokan kepada tiga hal yakni tenaga kerja, kesehatan,dan fiskal. Tidak bisa, masing-masing ingin menafikan yang lain. Jika aspek kesehatan dan fiskal dikedepankan sementara ketenagakerjaan dan industri dipinggirkan, maka jelas itu adalah kesalahan.

Menurut Enny, ada beberapa usul yang mungkin saja bisa menjadi jalan tengah. Artinya, industri tetap hidup dan kepentingan sektor lain bisa terakomodir. Misalnya, pengenaan cukai berbeda untuk rokok dengan kandungan lokal dan impor. Kalau rokok dengan kandungan tembakau lokal mayoritas, cukainya bisa lebih rendah. JIka rokok menggunakan tembakau impor maka bisa dikenakan cukai tinggi. Dengan begitu, industri pun akan fokus ke tembakau dalam negeri.

"Kalau kandungan lokal kurang dari 20 persen, cukainya sekian. Kan itu juga bisa jadi instrumen. Instrumen itu kan bagaimana menjaga keempat tujuan tadi bisa ditemukan. Produksinya kan boleh jadi ikut berkurang. Tapi tentu tidak bisa ujug-ujug, harus bertahap dan disesuaikan dengan kebijakan harga jual. Instrumen cukai berefek ke harga, itu untuk pengendalian juga," ucap Enny.
 
Soal impor tembakau yang dinilai masih tinggi, harus mampu dijawab pemerintah dengan salah satunya mendorong petani melakukan intensifikasi atau menggunakan teknologi baru agar produksi tembakau di dalam negeri bisa meningkat.

"Industri tembakau sudah bikin roadmap tiap tahun tumbuh berapa, sehingga kebutuhan bahan baku tembakau itu bisa disuplai dalam negeri. Sehingga ada titik temu, win win solution," tegasnya. [ald]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

Dituding Biang Kerok Banjir Sumatera, Saham Toba Pulp Digembok BEI

Kamis, 18 Desember 2025 | 14:13

Kapolda Metro Jaya Kukuhkan 1.000 Nelayan Jadi Mitra Keamanan Laut Kepulauan Seribu

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:56

OTT Jaksa di Banten: KPK Pastikan Sudah Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:49

Momen Ibu-Ibu Pengungsi Agam Nyanyikan Indonesia Raya Saat Ditengok Prabowo

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:41

Pasar Kripto Bergolak: Investor Mulai Selektif dan Waspada

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:31

Pimpinan KPK Benarkan Tangkap Oknum Jaksa dalam OTT di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:21

Waspada Angin Kencang Berpotensi Terjang Perairan Jakarta

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:02

DPR: Pembelian Kampung Haji harus Akuntabel

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:01

Target Ekonomi 8 Persen Membutuhkan Kolaborasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:58

Film TIMUR Sajikan Ketegangan Operasi Militer Prabowo Subianto di Papua

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:48

Selengkapnya