Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
DALAM artikel terdahulu dibedakan antara sertifikaÂsi dan standarisasi mubÂallig. Agak sulit dan bisa dipastikan sertifikasi memÂpunyai banyak resistensi di masyarakat. Yang lebih meÂmungkinkan ialah standaÂrisasi muballig, yaitu para muballig yang akan berkhutÂbah diminta untuk memiliki kapasitas tertentu yang kriterianya ditentukan oleh lembaga proÂfesional. Diharapkan dengan kepatuhan terhÂadap standar, maka para muballig bisa memÂberikan sesuatu yang lebih positif dan lebih konstruktif kepada masyarakat. Dengan deÂmikian profesionalisme muballig akan mengacu kepada standar nilai tertentu, sebagaimana halnya kelompok-kelompok profesional lainnya. Ide dasar ini sekaligus akan mengeliminir peÂnyajian materi dakwah yang menyesatkan atau merongrong sendi-sendi kedaulatan bangsa dan negara. Standarisasi dalam arti ini sesungÂguhnya tidak berbeda jauh pengertiannya denÂgan sertifikasi dalam arti memberikan sertifikat yang berfungsi semacam license atau surat izin untuk menjadi khatib. Mungkin yang berbeda, sertifikasi terkesan intervensi negara terlalu jauh, sedangkan standarisasi terkesan lebih profesional.
Kita tidak berbicara tentang standarisasi mubÂallig karena secara teknis dan secara logik suÂlit duwujudkan. Nilai plus standarisasi muballig memungkinkan para muballig untuk selalu menÂgasa diri dan mengikuti perkembangan zaman karena banyaknya saingan untuk menjadi seÂorang muballig yang berstandar. Muballig yang di bawah standar tentu akan terancam kehilanÂgan pasar. Di samping itu yang akan beruntung ialah masyarakat dan pemerintah. Masyarakat atau ummat akan selalu memperoleh sesuatu yang baru dan mencerahkan, bukan lagi seperti mendengarkan kaset yang diputar dari masjid ke masjid. Efek postifnya lebih jauh akan terÂcipta umat ideal (khaira ummah), tidak reaktif tetapi proaktif, tidak emosional tetapi sudah lebÂih cerdas, dan lahir sebuah ummat yang optimis dan berpikiran konstruktif dalam atap masa deÂpan. Diharapkan dengan demikian, umat tidak lagi menempuh jalan "potong kompas" dalam meraih tujuan seperti dilakukan oleh kalangan teroris.
Ada tesis, semakin dangkal pemahaman umat terhadap ajaran agamanya semakin beÂsar peluang untuk dimanfaatkan orang lain yang mempunyai kepentingan tertentu. UmumÂnya para martir, pengebom bunuh diri berasal dari orang-orang yang tingkat pengalaman dan penghayatan keagamaannya belum mamadai. Orang-orang nekat dalam beragama yang suÂlit diatur juga berasal dari mereka. Sebaliknya orang-orang cerdas dan pemahaman keagaÂmannya dalam dan komperhensif, sulit diperÂalat oleh sebuah kepentingan non-religious. Mereka sudah kritis dan mampu memahami hakekat dan maqashid al-syari’ah.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33