Darmin Nasution-Sri Mulyani/Setkab
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir-akhir ini dinilai semakin menyudutkan pemerintahan di mana ia sendiri terlibat di dalamnya.
Di tingkatan sebagian analis yang menyorot kinerja tim ekonomi pemerintah, Sri Mulyani bahkan dipersepsikan sedang menciptakan ketakutan di internal tim kabinet.
Misalnya, ketika ia menjelaskan risiko gagal bayar pemerintah Yunani yang bakal mengakibatkan perekonomian global kembali dilanda ketidakpastian selama tiga bulan ke depan.
Menurut dia, dengan defisit Yunani yang melewati tiga persen terhadap PDB, tiga negara yang selama ini membantu Yunani membayar utang (Belanda, Perancis dan Jerman) dikhawatirkan akan "angkat tangan". Apalagi, negara-negara tersebut sedang menghadapi pemilihan umum yang menentukan arah kebijakan ke depan.
Sri Mulyani mengingatkan, gagalnya penyelamatan Yunani bakal memengaruhi pandangan investor terhadap perekonomian negara yang pasarnya tengah berkembang, di mana salah satunya adalah Indonesia.
Di balik saran mantan Direktur Bank Dunia itu soal pentingnya menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kredibel guna meningkatkan kepercayaan investor, terkesan ada usaha untuk membuat pemerintahan Jokowi-JK minder. Dengan demikian, wajah ekonomi Indonesia akan tetap neoliberal.
Sebagai Menkeu yang diangkat presiden, Sri seharusnya ikut bertanggung jawab atas situasi rendahnya penerimaan negara setelah tax amnesty yang diagung-agungkan itu tidak terasa lagi manfaat besarnya. Bukan, misalnya, malah menuding perekonomian China sebagai penyebab.
Belakangan ini juga terdengar sentimen negatif akibat keyakinan pribadi Sri Mulyani bahwa kondisi utang Indonesia, yang saat ini tercatat Rp 3.467 triliun atau 27,5 persen terhadap PDB, masih sehat. Sri membandingkannya dengan negara lain, yaitu India, Yunani, Jepang, dan Amerika Serikat.
Persoalannya adalah kepercayaan rakyat terhadap tim ekonomi yang melibatkan dua tokoh, Sri Mulyani dan Darmin Nasution, begitu rendah karena fakta bahwa transaksi ekonomi rakyat di semua lini sedang melemah. Pelemahan itu terlihat mulai dari kegiatan ekonomi sehari-hari rakyat, penurunan omset para pedagang eceran sampai ke level perusahaan-perusahaan besar yang berpengalaman.
Tren konsumsi menunjukkan pelemahan daya beli rakyat termasuk di pusat-pusat perbelanjaan modern. Penurunan juga tampak di angka penjualan produk-produk otomotif.
Seharusnya tim ekonomi Jokowi, khususnya Sri Mulyani dan Darmin Nasution, mampu memberikan solusi untuk memperkuat ekonomi rakyat. Tentu saja hal tersebut tidak akan bisa terjadi bila para perumus kebijakan masih memiliki pola pikir neoliberalis dan cenderung menakut-nakuti bangsanya sendiri.
[ald]