Berita

Ricky Tamba/Net

Politik

Reformasi Telah Mati

SENIN, 20 FEBRUARI 2017 | 13:30 WIB

TAK disangka, sebuah pesan pendek (SMS) masuk ke telepon seluler saya beberapa waktu lalu, "Bang, apa arahan untuk gerakan mahasiswa saat ini?" Terhenyak saya membaca pertanyaan kawan aktivis mahasiswa tersebut, kemudian membalas dengan sedih, "Hari-hari esok adalah milik kita. Lakukan analisa dan pergerakan yang kalian anggap benar. Perkuat organisasi dan bantulah rakyat miskin yang butuh pertolongan dengan cara yang kalian bisa. Kami gerakan mahasiswa 1998 telah gagal. Reformasi telah mati!"

Setelah Otoritarianisme

Mengenang masa sebelum 1998, gerakan mahasiswa dan rakyat menjadi sebuah perjuangan yang sangat berat. Bukan hanya karena tempaan represi yang dialami, terlebih karena melawan sebuah sistem yang sangat otoriter yang mengcengkram di segala bidang kehidupan. Kebhinekaan menjadi sebuah hal yang sangat mahal, segala sesuatu diwujudkan dalam berbagai kebulatan tekad dan wadah tunggal. Bahkan untuk mahasiswa, pasca-Malari 1974 diterapkan program NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dengan mahasiswa dipacu untuk hidup di “menara gading” hanya sibuk kejar SKS dan nilai agar cepat jadi sarjana, tak peduli dengan penderitaan rakyat dan perilaku penguasa, serta diwajibkan berhimpun dalam Senat Mahasiswa sebagai organisasi yang sah menjalankan kegiatan kemahasiswaan. Segala pikiran kritis dianggap sesat, setiap gerakan melawan kebatilan jadi hal tabu yang melanggar pakem penguasa Orde Baru saat itu.


Hari demi hari, demonstrasi demi demonstrasi, penangkapan demi penangkapan terus berlalu. Dari aksi-aksi demonstrasi yang hanya diikuti puluhan mahasiswa serta aktivis pemuda lainnya, aksi demonstrasi semakin marak di seluruh Indonesia hingga diikuti jutaan massa. Orde Baru pun tumbang, asa terbentang menghapus jejak otoritarianisme pada 21 Mei 1998. “Transisi damai” terjadi dan Jenderal Besar Soeharto dengan eloknya mundur dari jabatan Presiden RI selama 32 tahun, tanpa pernah adanya proses pengambilalihan kekuasaan dan penataan kehidupan ekonomi-politik negara yang dipersiapkan secara matang oleh mahasiswa dan barisan proreformasi sejati. Euforia terjadi menghinggapi mayoritas aktivis mahasiswa dan rakyat, seakan-akan masa depan Indonesia yang gilang gemilang akan segera hadir di depan mata.

Perjuangan reformasi 1998 diwarnai dengan jatuhnya martir demokrasi, yakni pahlawan Elang, Hendriawan dkk dalam tragedi Trisakti, Yap Yun Hap, M Yusuf Rizal, dan Saidatul Fitria dkk dalam Tragedi Penolakan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya di Semanggi Jakarta, Lampung dan daerah lainnya, serta banyak aktivis prodemokrasi yang hingga kini tidak pulang, seperti Wiji Thukul, Bimo Petrus, Suyat dkk. Hormatku kepada mereka.

Berbagai tuntutan didesakkan gerakan mahasiswa dan rakyat di berbagai daerah hingga klimaksnya terjadi kompromi antara elite politik nasional dan sebagian kecil elite gerakan mahasiswa, yakni Deklarasi Ciganjur 1999 yang banyak ditolak oleh mayoritas gerakan mahasiswa dan rakyat yang terus berlawan berlandaskan tujuan dan tuntutan agenda besar reformasi yang menyangkut perekonomian rakyat agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta bisa maju, berdaulat, dan sejahtera.

Rakyat mulai terbelah, reformis gadungan dan aktivis pelacur mulai menunjukkan watak aslinya yang haus dengan kekuasaan dan harta, mendirikan berbagai organisasi massa hingga partai politik tanpa orientasi ideologi dan kerja pengorganisasian massa yang jelas. Dimulai dengan adanya konsesi sogokan pemilihan umum multipartai 1999 yang direstui kapitalisme internasional guna mendesakkan berbagai program liberalisasi ekonomi-politik dengan cara-cara yang halus, cantik dan seakan-akan demokratis. Kompromi demi kompromi terjadi, gerakan mahasiswa dan rakyat yang progresif revolusioner semakin tergerus melemah tak mampu bertahan. Berbagai peraturan perundang-undangan dan aturan hukum yang meliberalkan kehidupan ekonomi-politik diterapkan. Paling ironi, UUD 1945 yang asli diamandemen berulang kali guna memastikan segala kebijakan liberalisasi dianggap legal dan konstitusional. NKRI di bawah kendali neoliberalisme!

Takdir Reformasi

Tak terasa 17 tahun berlalu. Cita-cita mulia reformasi tak pernah terwujud, demokrasi yang seharusnya menjadi alat perjuangan kini hanyalah kata yang semakin tak bernilai. Reformasi telah melahirkan kebebasan berserikat, berpendapat, dan berkumpul, tetapi kini ditelikung kaum avonturir pedagang untuk memburu rente politik menindas rakyat. Reformasi berhasil memaksakan dunia peradilan agar bebas dan terbuka, tetapi secara prinsipil hukum masih tajam ke bawah tumpul ke atas, menikam yang tak berpunya melindungi penguasa durjana. Reformasi seharusnya mewujudkan kemakmuran kaum tani dan sektor rakyat lainnya hingga memiliki akses ekonomi yang lebih terbuka, tetapi nyatanya kini kehidupan ekonomi rakyat berada di bawah kontrol mafia agen kapitalisme global yang merambah masuk hingga pelosok perdesaan.

Reformasi menginginkan agar TNI menjadi kekuatan profesional pertahanan negara, tetapi sejatinya tentara tak pernah diberdayakan manunggal dengan rakyat untuk menghadang dan memerangi agresi neoliberalisme yang menghancurkan NKRI. Reformasi memunculkan segudang pemimpin baru nasional dan lokal, tetapi mayoritas feodal oportunistik korup dan tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat yang dimiskinkan secara struktural. Reformasi seharusnya menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme, tapi faktanya kini ribuan kejahatan korupsi dan kejahatan kemanusiaan lainnya terus terjadi hingga ke pelosok perdesaan yang semakin menerpurukkan NKRI.

Kini, reformasi telah mati! Setidaknya, ia telah mewariskan kebebasan dan menghancurkan kediktatoran. Dan seharusnya, kalian para pemuda, mahasiswa, dan prajurit progresiflah yang akan menuntaskan cita-cita reformasi memajukan NKRI sepenuhnya. Karena kami angkatan 1998 telah gagal. [***]

Ricky Tamba
Penulis adalah petani dan pegiat Jaringan '98

*Tulisan ini sudah disebarkan lampost.co dan dimuat di Lampung Post pada 21 Mei 2015.

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Pakar Tawarkan Framework Komunikasi Pemerintah soal Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:32

Gotong Royong Perbaiki Jembatan

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:12

UU Perampasan Aset jadi Formula Penghitungan Kerugian Ekologis

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:58

Peresmian KRI Prabu Siliwangi-321 Wujudkan Modernisasi Alutsista

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:39

IPB University Gandeng Musim Mas Lakukan Perbaikan Infrastruktur

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:14

Merger Energi Fusi Perusahaan Donald Trump Libatkan Investor NIHI Rote

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:52

Sidang Parlemen Turki Ricuh saat Bahas Anggaran Negara

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:30

Tunjuk Uang Sitaan

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:14

Ini Pesan SBY Buat Pemerintah soal Rehabilitasi Daerah Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:55

Meneguhkan Kembali Jati Diri Prajurit Penjaga Ibukota

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:30

Selengkapnya