Berita

Gede Sandra/Net

Politik

Menemukan Kembali Nasionalisme Ekonomi Kita

JUMAT, 03 FEBRUARI 2017 | 12:45 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

SEJARAH mengajarkan bahwa perekonomian paling cepat bertumbuh di negara-negara yang menjalankan kebijakan nasionalisme ekonomi (proteksionisme) dan kebijakan industrialisasi yang kuat.

Contohnya adalah Inggris pada pertengahan abad 18 hingga pertengahan abad 19. Amerika Serikat (AS) dan Jerman pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan pada akhir abad 20. Hingga Tiongkok saat ini di Abad 21.

Menurut ekonom kenamaan dari Universitas Cambridge, Haa Joon Chang, pendekatan pasar bebas terbukti tidak efektif dalam menolong negara-negara ini mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat.

Kebijakan perdagangan bebas antar negara-negara pada tingkat perkembangan yang setara memang akan membawa keuntungan menyeluruh. Tetapi perdagangan bebas antara negara berkembang dan negara maju akan berdampak buruk buruk bagi negara berkembang dalam jangka panjang.

Pada jangka pendek, negara berkembang mungkin saja diuntungkan, terutama apabila negara-negara ini memiliki pasar besar untuk menjual produk-produk negara maju. Tapi dalam jangka panjang, kesepakatan-kesepakatan pasar bebas ini akan berdampak buruk bagi negara berkembang. Karena mereka menjadi tidak mampu mengembangkan industri-industri mereka yang sedang bertumbuh (infant industry) akibat mereka tak dapat menerapkan suatu kebijakan industri yang kuat.    

Karakteristik utama dari pembangunan ekonomi negara-negara Asia Timur (yang lebih dekat dengan Indonesia) tersebut, adalah hadirnya negara dalam memacu pertumbuhan ekonomi tinggi. Nasionalisme ekonomi ini terwujud dalam kebijakan-kebijakan semacam: perlindungan infant industry, pengenaan tarif impor, promosi ekspor, dan pembangunan sumber daya manusia.    

Tinggalkan Neoliberalisme

Pidato Presiden Tiongkok Xi Jin-Ping pada acara World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, bulan lalu secara umum berisikan sindiran kepada pemerintahan AS di bawah presiden yang baru dilantik: Donald Trump. Xi Jinping mengkritisi langkah Donald Trump yang berencana membawa AS meninggalkan neoliberalisme, pasar bebas (istilah Xi: globalisasi ekonomi), dan mendirikan nasionalisme ekonomi (proteksionisme) mereka.

Seperti dalam berbagai pidatonya, Trump, berencana untuk mengenakan tarif impor yang tinggi bagi negara-negara yang dianggapnya telah melakukan manipulasi kurs mata uang mereka (Tiongkok adalah salah satunya) dan meninggalkan berbagai perjanjian perdagangan yang dianggapnya merugikan AS seperti TPP dan NAFTA.

Trump juga berencana untuk membangun kembali fondasi industri manufaktur, memotong pajak untuk industri, dan menghapuskan regulasi-regulasi yang menghambat industri. Atas semua itu, Trump berharap AS dapat mencapai kembali pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Berkaca pada sejarah, sebenarnya apa yang dilakukan AS di bawah kepemimpinan Trump hanyalah pengulangan dari yang AS pernah lakukan di masa lalu- selama periode akhir abad 19 hingga awal abad 20 (hingga menjelang Depresi Global). Pada era tersebut, negara terdepan yang mengusung pasar bebas adalah Inggris, sebagai negara industri terbesar dan menguasai perdagangan dunia.

Tiongkok pun, semenjak membuka pintunya untuk investasi asing pada akhir 1970-an dipimpin oleh Deng Xiaoping, tidak pernah memeluk neoliberalisme untuk sehingga menjadi negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia selama dua dasawarsa terakhir. Garis kebijakan Partai Komunis Tiongkok pada era kebangkitan tersebut adalah nasionalisme ekonomi, bukan neoliberalisme ekonomi.

Mereka menggunakan pasar raksasa mereka sebagai leverage (pengungkit) untuk memaksa investasi asing yang masuk ke Tiongkok mentransfer teknologi sebanyak-banyaknya.    

Belajar dari semua itu, ketimbang harus khawatir dengan berbagai dampak yang mungkin ditimbulkan dari kebangkitan nasionalisme ekonomi AS, Indonesia seharusnya juga ikut membangkitkan nasionalisme ekonominya sendiri. Jangan kita terus menjadi anak ingusan” yang masih saja menganggap neoliberalisme sebagai satu-satunya rumus ekonomi. AS saja sudah meninggalkannya. Ayo, move on! [***]


Penulis adalah staf pengajar di Universitas Bung Karno



Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya