Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Penjaga Konstitusi (KMSPK) menÂgungkapkan sejumlah pelanggaran etik yang dilakukan hakim konstitusi Patrialis Akbar saat sidang uji materi pasal-pasal pidana kesusilaan, yakni Pasal 284, 285, dan 292 KUHP.
Dalam uji materi yang berÂlangsung sejak Juni 2016 lalu terdapat sejumlah pernyataan Patrialis yang diskriminatif, subÂjektif, dan menyerang personal pihak yang berperkara.
Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Naila Rizqib menuturkan, dirinya sebagai kuasa hukum dari Komnas Perempuan yang menjadi pihak terkait dalam uji materi tersebut menilai sejumlah pernyataan Patrialis tidak layak dalam kapasitasnya sebagai haÂkim konstitusi.
"Kita masuk sebagai pihak terkait pada sidang ke-5, dan kita berhadapan dengan hakim yang sering mengeluarkan pernyataan bias, subjektif, dan menyerang pihak personal yang berperkaÂra," ujarnya di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta.
Naila menerangkan, Patrialis dianggap melakukan pelangÂgaran terhadap prinsip imparsiÂalitas. Alasannya, pernyataan-pernyataan Patrialis dalam perÂsidangan cenderung memihak salah satu pihak yang berperkara. Tak hanya itu, yang bersangkuÂtan juga melakukan pelanggaÂran terhadap standar minimum kompetensi penguasaan ilmu pengetahuan.
"Bahkan dalam persidangan hakim Patrialis dengan mudahÂnya mengatakan HIV/AIDS dapat menular secara transmisif saat orang makan dan duduk bersama Orang Dengan HIV/ AIDS," ungkapnya.
Selain tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan, pernyataan tersebut jelas merupakan stigmaÂtisasi terhadap ODHA. Padahal sidang di Mahkamah Konstitusi diharapkan menghadirkan bukti-bukti nyata dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara.
"Ditambah lagi dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Patrialis, MK sebagai penjaga konstitusi perlu direformasi," imbuhnya.
Pengacara LBH Jakarta, Citra Referandum menerangkan, keÂberpihakan hakim terhadap salah satu pihak yang berperkara jelas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (2) Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi.
Pasal tersebut mengharuskan para hakim konstitusi bebas dari pengaruh mana pun, arif dan bijaksana, serta tidak memihak dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Saat ini proses persidangan uji materi pasal-pasal tindak pidana kesusilaan di MK sudah meÂmasuki sidang ke-19. "Ini bisa jadi salah satu persidangan uji materi terlama di MK," katanya.
Citra menambahkan, saat ini pihaknya tengah meneliti sidang-sidang di MK yang diÂduga sarat pelanggaran etik oleh hakim untuk kemudian dilaporÂkan ke Dewan Etik MK.
Ketua Badan Pengurus YLBHI, Asfinawati mengatakan, penÂegakan etik terhadap Patrialis Akbar tetap harus dilakukan walau yang bersangkutan sudah mengundurkan diri dari jabatan hakim konstitusi. Pihaknya juga mengusulkan agar Majelis Etik MK membuka saluran pengaduan bagi pihak-pihak yang dirugikan saat berperkara di MK.
"Kita juga mengajak agar pihak-pihak yang didiskrimiÂnasi, distigma, dan dirugikan saat berperkara di MK agar mau melaporkannya," ujarnya.
Langkah ini dinilai salah satu cara untuk mengembalikan wibaÂwa MK. "Selain itu kita mendesak perlunya ada perbaikan sistem rekrutmen hakim konstitusi, jika tidak ada akuntabilitas dalam seleksi hakim konstitusi bagaimaÂna kita bisa menganggap yang berÂsangkutan sebagai negarawan," tandasnya. ***