Pemerintah yang diwakili Kemenko Polhukam telah melakukan rapat koordinasi dengan Komnas HAM terkait upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dari pertemuan tersebut, pemerintah memutuskan menÂempuh jalur non-yudisial yakni rekonsiliasi untuk kasus-kasus tersebut. Kalangan aktivis menilai pilihan tersebut tidak sesuai dengan janji politik Presiden Jokowi.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengataÂkan, pihaknya menyayangkan dan mempertanyakan langÂkah yang diambil pemerintah terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
"ICJR menilai, pemerintah tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menempuh jalur non-yudisial tanpa adanya kejelasan proses yudisial, terÂlebih lagi hanya didasarkan pada alasan pilihan politik," katanya di Jakarta.
Pilihan untuk menempuh jalur non-yudisial justru mengÂingkari janji politik Presiden Jokowi yang ingin menyeleÂsaikan kasus-kasus pelanggaÂran HAM masa lalu. Erasmus menerangkan, berdasarkan UU no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) dapat membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran HAM.
"Perlu untuk dipahami bahÂwa pada dasarnya penyelidikan Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, telah selesai diselidiki Komnas HAM sebaÂgai penyelidik berdasarkan UU Pengadilan HAM pada Maret 2002," ujarnya.
Namun sampai saat ini, Jaksa Agung belum menjalankan amanat UU Pengadilan HAM dengan melakukan penyidikan yang layak terhadap kasus-kasus tersebut.
ICJRmenilai, hasil penyeÂlidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM seharusnya cukup untuk menaikkan kasus-kasus tersebut ke proses peÂnyidikan. "Belum lagi karena baik korban, saksi dan pelaku pada dasarnya masih hidup dan lebih dari cukup untuk memberikan keterangan dalam proses peradilan," imbuhnya.
Erasmus mengingatkan, ketidakjelasan proses hukum terkait kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dapat diÂartikan sebagai tindakan meÂlanggengkan praktik impunitas dan mengkhianati perjuangan Hak Asasi Manusia.
Lebih dari itu, ICJR menganggap bahwa tindakan Pemerintah melalui Jaksa Agung sebagai tindakan unwilling atau tidak ada kemauan. Buktinya, pemerintah melalui Jaksa Agung enggan untuk menerusÂkan proses peradilan pidana dalam kasus pelanggaran berat HAM padahal memiliki keÂmampuan untuk itu.
"ICJR pada dasarnya menÂdukung langkah-langkah reÂkonsiliasi, namun tanpa adanya pengungkapan kebenaran terÂlebih dalam jalur yudisial dengan seluruh kemampuan yang saat ini dimiliki oleh pemerintah, maka pemerintah dapat diangÂgap lari dari tanggung jawab kemanusiaan," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyatakan 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui jalur nonyudisial. Menurutnya, kasus-kasus HAM masa lalu, seperti kasus 1965, sulit diÂlanjutkan proses yudisialnya. Apalagi kasus-kasus tersebut telah terjadi puluhan tahun yang lalu. ***