Masyarakat Pertambangan Indonesia (MPI) menyambut baik langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang membuka kembali keran ekspor mineral. Kebijakan tersebut bakal meningkatkan setoran devisa dan perekonomian nasional.
Presidium MPI Herman Afif Kusumo mengatakan, selain meningkatkan setoran devisa dan pajak, dibukanya keran ekÂspor mineral akan menciptakan lapangan kerja. Roda perekonoÂmian pun akan berputar lagi.
"Langkah pemerintah sudah benar. Melemahnya perekoÂnomian Indonesia akan terÂdongkrak naik dengan cepat," ujarnya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Apalagi, tujuan dikeluarkanÂnya Undang-Undang (UU) No.4 tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) tidak dimaksudkan mematikan kegiatan usaha yang dikerjakan industri nasional. Menurut HerÂman Afif, kebijakan pembukaan keran ekspor mineral juga tidak akan mempengaruhi pasokan dalam negeri.
Dia mencontohkan, hasil perÂtambangan bauksit baru diserap oleh industri dalam negeri kurang dari 10 persen. Jadi wajar jika sisanya sebesar 90 persen dapat diekspor sampai industrinya bisa menyerap 100 persen.
Berdasarkan data eksplorasi asosiasi, jumlah cadangan sumÂber daya bauksit sampai DesemÂber 2013 mencapai 1,25 miliar ton dan jumlah sumber daya bauksit mencapai 7,5 miliar ton. Jumlah tersebut akan bertambah terus karena wilayah yang berÂpotensi mempunyai bauksit baru 45 persen yang di eksplorasi.
"Jadi kalau ekspor selama lima tahun, dengan jumlah ekÂspor setiap tahun 40 juta ton, maka totalnya hanya 200 juta ton atau setara dengan 3,5 persen dari jumlah bauksit yang ada. Jadi sangat kecil sekali yang di ekspor," kata Herman Afif.
Namun, kata dia, kebijakan ini harus dibarengi dengan penÂgaturan harga jual minimalnya. Hal itu bisa ditetapkan dengan Peraturan Dirjen. Pemerintah juga bisa mengawasi kegiatan ekspornya dengan cara setiap penjualan ekspor harus pakai
Letter of Credit (LC) dan bank yang ditunjuk oleh pemerintah.
Herman Afif mengusulkan, harga jual minimum ekspor dan lokal untuk smelter dalam negeri pada intinya sama. Tapi jika ekspor dikenakan bea keluar untuk melindÂungi pasokan smelter dalam negeri. Misalnya, harga dasar bauksit 35 dolar AS, jika untuk ekspor dikeÂnakan tambahan bea keluar 5 dolar AS. "Maka eksportir tidak boleh menjual bauksit keluar negeri di bawah 40 dolar AS," tuturnya.
Jika ada perusahaan yang meÂlanggar dengan menjual di bawah harga patokan, pemerintah bisa memberikan sanksi. Antara lain, dengan membekukan izinnya selama tiga bulan. Jika melangÂgar sampai dua kali, pemerintah bisa mencabut izinnya.
Dia menambahkan, perlu segera menerbitkan peraturan-peraturan yang melindungi sumÂber daya alam dari penguasaan pihak asing. Caranya dengan membuat peraturan tentang besarnya saham asing pada inÂvestasi di bidang sumber daya alam agar tidak dikuasai asing.
"Saham asing pada pembanÂgunan smelter saat ini sudah di atas 70 persen. Hal ini sangat berbahaya bagi kedaulatan negara kita. Setidaknya saat ini belum terÂlambat, dari pada nanti teriak-teriak seperti Kontrak Karya," tegasnya.
Dia juga menilai, pihak-pihak yang menolak relaksasi ekspor tidak paham industri tambang. BahÂkan, kata dia, mereka tidak pernah menunjukkan fakta yang terjadi saat ini ataupun solusi agar pembangunan industri smelter tercapai. "Pemerintah harus menyelidikinya. Jangan sampai ada motif kepentÂingan asing untuk menguasai sumber daya alam kita dan adanya persaingan dagang," tukasnya.
Terbit Minggu Depan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, masih menggodok aturan tarif bea keluar mineral konsentrat baru. Dia memastikan, atuaran tarif baru bakal rampung pekan depan dalam payung huÂkum Peraturan Menteri KeuanÂgan (PMK). "Nanti aturannya akan dikeluarkan, mudah-mudaÂhan bisa keluar dalam beberapa minggu ini," ujarnya.
Kendati begitu, Kemenkeu masih mengkaji besaran kenaikan tarif. Ia menegaskan, secara prinÂsip pengenaan bea keluar bukanÂlah untuk menambah penerimaan negara melalui pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun untuk mendorong hilirisasi industri mineral di Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah menÂgeluarkan PP No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kemudian, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No.5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan PemurÂnian Mineral di Dalam Negeri.
Jonan mengatakan, dalam peraturan baru tersebut, perusaÂhaan tambang yang ingin tetap mengekspor mineral mentah atau olahan harus mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha PertambanÂgan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP). ***