Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Cabai Dan Diplomasi Meja Makan Pak Jokowi

SENIN, 16 JANUARI 2017 | 02:57 WIB | LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR

DULU saya sering protes ke istri ketika dia sedang menggoreng cabai, yang sudah diulek. Pasalnya, dia juga menaburkan gula pasir ke dalam kuali.

Fungsi cabai untuk membuat masakan pedas. Sedangkan gula menjadikannya manis. Loh kok dicampur?

Istri saya punya alasan. Kata dia, supaya sambalnya tidak terlalu pedas. Saya semakin penasaran.

"Kalau gitu, cabainya saja dikurangi," saya menyergah. "Kalau cabainya dikurangi, sambalnya kelihatan kurang merah, kurang mantap dilihat," katanya membalas.

Tapi saya lega. Saat ini, sebenarnya sudah agak lama juga, dia tidak lagi memakai gula ketika hendak menyambal. Dia ikut dengan apa yang pernah saya sampaikan: mendahulukan isi daripada tampilan. Lebih baik mengurangi cabai daripada menambahinya dengan gula.

"Buat apa tampilan, apalagi kalau biaya pengeluaran semakin tinggi. Padahal perekonomian 'domestik' sedang seret," begitu waktu itu saya membatin.

Saya teringat kembali kenangan sewaktu di awal menikah delapan tahun lalu itu karena saat ini harga cabai membumbung tinggi dari sekitar 27 ribu per kilogram. Sejak menjelang Tahun Baru sebenarnya harga cabai memang mulai merangkak naik.

Bahkan di Seruyan di Kalimantan Tengah, pada akhir pada Jumat kemarin (13/1), harga cabai rawit merah tembus Rp 250 per kilogram atau seperempat juta.

Apa penyebabnya?

Seorang pejabat terkait menyatakan karena faktor cuaca dan transportasi untuk pendistribusian cabai dari petani. Pejabat lain yang juga masih terkait menjelaskan karena faktor cuaca yang mempengaruhi transportasi. Tapi yang jelas, kedua pejabat itu kompak mengklaim, harga cabai sudah mulai turun.

Kita juga berharap harga cabai segera kembali normal apapun faktornya. Supaya ibu-ibu di dapur kembali senyum, dan tidak lagi mengkerutkan dahi setiap pagi saat penjual sayur keliling lewat di depan rumah.

Pak Setya Novanto, Ketua DPR, bersama sejumlah bapak-bapak anggota Dewan lainnya sendiri sudah mendoakan langsung saat melakukan inspeksi mendadak di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.

Di 'hadapan para' cabai itu mereka berdoa bersama yang dipimpin Ketua Komisi Agama, Bapak Ali Taher Parasong. Doanya agar harga cabai turun.

Sebagai rakyat, saya mengaminkan doa para wakil saya itu. Eh, wakil rakyat maksudnya. Supaya kita tetap bisa menikmati merah dan pedasnya cabai dengan harga terjangkau.

Karena kalau harga cabai tidak turun, tentu ini berpotensi mengganggu perekonomian karena bisa membuat daya beli masyarakat menurun.

Apalagi saya melihat belakangan ini, sejumlah pelaku bisnis kuliner menjadikan sambal sebagai diferensiasi dari produk-produk sejenis. Semua menjadikan citra rasa pedas sebagai daya tarik konsumen.

Harus dicatat disini bahwa kenaikan harga cabai ini tak ada kaitan langsung dengan kebijakan Presiden Joko Widodo atau pemerintahannya. Dengan demikian kekecewaan atau bahkan sampai kemarahan rakyat kepada Pak Jokowi jangan ditambah-tambah.

Buktinya, dalam aksi unjuk Aksi Bela Rakyat 212 oleh para mahasiswa, sepertinya tak ada protes atas kenaikan harga cabai. Padahal, seperti disindir judul dalam sebuah berita media online, baru pada masa Pemerintahan Jokowi harga cabai mengalahkan harga daging sapi.

Mahasiswa hanya protes kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan pengurusan surat-surat kendaraan bermotor.

Kenaikan biaya yang disebut terakhir ini sempat menuai polemik. Karena disebutkan Pak Jokowi sempat meminta kenaikan tarif STNK dan BPKB yang efektif berlaku 6 Januari lalu tersebut tidak terlalu tinggi. Menurutnya, kenaikan biaya sampai tiga kali lipat itu bisa membenani masyarakat.

Yang membuat heboh, karena dia sendiri sebulan sebelumnya yang meneken PP-nya. Meski belakangan, Menko Perekonomian Pak Darmin Nasution mengklarifikasi.

Kembali ke soal kenaikan harga cabai, saya bertanya-tanya, apakah pernah menjadi pembicaraan Pak Jokowi di sela-sela 'diplomasi meja makan' bersama sejumlah tokoh yang diundang bergiliran ke Istana. [zul]

Populer

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

Pasukan Berani Mati Bela Jokowi Pembohong!

Minggu, 22 September 2024 | 14:03

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Kejagung di Bawah ST Burhanuddin, Anak Buah Jalan Masing-masing

Rabu, 25 September 2024 | 17:11

Akun Fufufafa Ganti Nama dari Gibran jadi Slamet Gagal Total

Senin, 23 September 2024 | 08:44

Pasukan Berani Mati Bela Jokowi Tak Nongol di Patung Kuda

Minggu, 22 September 2024 | 13:26

UPDATE

DPD Tunjuk Dedi Iskandar Batubara Jadi Ketua Kelompok di MPR

Rabu, 02 Oktober 2024 | 19:51

Pendirian 5 Yonif Baru di Papua Ternyata Ide Prabowo

Rabu, 02 Oktober 2024 | 19:28

Anak Sekjen PKS Usulkan Payung Hukum Cegah Judi Online

Rabu, 02 Oktober 2024 | 19:20

RK Janji Lanjutkan Program Anies Umrohkan Marbot Masjid

Rabu, 02 Oktober 2024 | 19:00

Tiga Raksasa Migas Bayar Pajak Lebih Besar ke Asing daripada ke AS

Rabu, 02 Oktober 2024 | 18:59

Airlangga Dorong Paradigma Limbah Sawit Diubah jadi Bernilai Ekonomi

Rabu, 02 Oktober 2024 | 18:54

Menko Airlangga Minta Kadin Ikut Genjot Pertumbuhan Ekonomi

Rabu, 02 Oktober 2024 | 18:39

Kolaborasi Dewan Adat Bamus Betawi-Kadin Menuju Jakarta Kota Global

Rabu, 02 Oktober 2024 | 18:39

Prabowo Berhak Serahkan Capim dan Dewas KPK ke DPR, Bukan Jokowi

Rabu, 02 Oktober 2024 | 18:32

Bisnis DAM Terus Tumbuh, ASDAMINDO Imbau Pelaku Usaha Ikuti Regulasi

Rabu, 02 Oktober 2024 | 18:19

Selengkapnya