Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Sejarah Berulang Kembali: Dekrit Presiden?

MINGGU, 08 JANUARI 2017 | 08:51 WIB | OLEH: BATARA R. HUTAGALUNG

HISTORY repeats itself.

Setelah Pemilu Legislatif tahun 1955 dibentuk Konstituante yang ditugaskan untk menyusun UUD RI, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, yang disusun di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). UUDS ditandatangani oleh Sukarno tanggal 15 Agustus 1950, masih sebagai Presiden RIS.

Sejak penunjukan Sutan Sjahrir secara inkonstitusional sebagai Perdana Menteri RI bulan November 1945, sampai tanggal 5 Juli 1959 Indonesia menganut sistem parlementer. Presiden Sukarno melepaskan kekuasaannya sebagai Kepala Pemerintahan kepada Sutan Sjahrir.

Sejak kembali ke Negara Kesatuan RI dengan sistem parlementer pada 17 Agustus 1950 tercatat ada tujuh Perdana Menteri. Artinya ada kabinet yang dapat bertahan hanya beberapa bulan. Tidak ada yang mencapai 3 tahun.

Dewan Konstituante juga kerjanya bertele-tele, bahkan sampai hampir 4 tahun tidak juga menghasilkan UUD baru yang menggantikan UUDS, yang masih ikut disusun oleh para anggota DPR RIS. RIS terdiri dari 16 Negara Bagian. 15 Negara Bagian adalah bentukan Belanda.

Perdana Menteri Juanda sendiri setuju untuk kembali ke UUD 1945, namun usulan di Konstituante agar kembali ke UUD 1945 tidak pernah mencapai kuorum. Berbagai kalangan, baik politisi maupun militer menilai, bahwa kondisi negara sudah sangat mengkhawatirkan.

Dari catatan sejarah, adalah Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi penentu, yaitu memberi dukungan penuh kepada Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.

Pada 5 Juli 1950, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit yang isinya, pertama, membubarkan Konstituante, kedua, menyatakan berlakukan kembali UUD 1945. Ketiga, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Juanda adalah Perdana Menteri RI terakhir.

Dari sudut konstitusi yang berlaku pada masanya, penunjukkan Sutan Sjahrir bulan November 1945menjadi Perdana Menteri adalah inkonstitusional, karena sejak 17 Agustus 1945, telah berlaku UUD 1945, yaitu kabinet presidensial.

Langkah Presiden RIS Sukarno membubarkan RIS juga inkonstitusional. Namun langkah ini mendapat dukungan dari 3 Negara Bagian yang tersisa. Sebelumnya, beberapa Negara Bagian RIS dibubarkan paksa oleh rakyatnya, karena "negara-negara" tersebut bentukan Belanda.

Terakhir, Dekrit 5 Juli 1959 juga inkonstitusional. Namun sejarah mencatat, bahwa apabila sanggup bertahan atau mendapat dukungan dari mayoritas rakyat, maka yang semula inkonstitusional menjadi konstitusional.

Telah dibentuk tim yang akan membahas amandemen ke 5. Apakah ada jaminan bahwa tim ini bekerja cepat, dan memenuhi tuntutan seluruh komponen anak-bangsa Indonesia dan menampung seluruh aspirasi, baik rakyat kecil, TNI, Polri, dsb?

Melihat eskalasi yang makin meruncing saat ini sehubungan dengan tuntutan untuk kembali KE UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, mungkin jalan terbaik, setelah berkonsultasi dengan DPR RI, DPD, TNI, Polri dan para pemangku kepentingan, adalah dikeluarkan Dekrit Presiden.

Kemudian semua perubahan yang ada di amandemen 1 hingga 4 dikaji ulang. Seluruh perubahan tidak lagi dalam bentuk amandemen, melainkan sebagai adendum, di mana syarat perubahannya tidak serumit untuk merubah UUD.

Selain itu, juga sangat penting untuk membuat Risalah Sidang, seperti yang dilakukan oleh BPUPKI dan PPKI, di mana tertera jelas, siapa yang mengusulkan, apa dasar pertimbangannya dsb.

Teknologi saat ini sangat mempermudah untuk merekam semua pembicaraan. Di DPR/MPR RI kelengkapan tehnisnya sudah sangat hebat, baik merupakan siaran langsung dengan tehnologi Live Stream, maupun mencantumkan di situs-situs resmi pemerintah dan Dewan. [***]

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya