Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Mengapa Harus Kembali Ke UUD 1945

KAMIS, 05 JANUARI 2017 | 08:07 WIB | OLEH: BATARA R. HUTAGALUNG

DALAM kesempatan ini saya khusus menulis, yang menurut pendapat saya harus segera dilakukan untuk mengembalikan kewibawaan negara (Pemerintah RI, TNI dan Polri), adalah kembali ke UUD 1945, yang disahkan pada 18 Agustus 1945.

Setelah berkuasa selama sekitar 32 tahun, rezim Orde Baru dipaksa melepaskan kekuasaannya oleh kekuatan rakyat pada 21 Mei 1998.

Sebagai hasil pemilihan umum tahun 1999, dimulailah pembahasan perubahan UUD RI yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Perubahan (amandemen) dilakukan sebanyak 4 kali dan disahkan tanggal 10 Agustus 2002.

Sejak disosialisasikan UUD RI hasil perubahan tahun 2002, mulai bermunculan pandangan kritis dan protes terhadap UUD RI hasil amandemen.

Berbagai kritik yang menonjol a.l., bahwa:

1. Sebagai suatu produk hukum, terdapat beberapa kejanggalan yang mendasar, yaitu  selain proses pengesahannya dinilai tidak sesuai dengan prosedur sehingga cacat hukum.

2. Adanya bab yang kosong, yaitu Bab IV, mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus. Namun sebagai bab tetap tercantum. Hal ini mengesankan suatu penipuan publik, yaitu seolah-olah Batang Tubuh UUD 1945 tetap terdiri dari 16 bab, padahal faktanya hanya 15 bab.

Berbeda dengan UUD yang disahkan pada 18.8.1945, di UUD 2002 tidak ada Risalah Sidang dan penjelasan serta alasan mengenai ayat-ayat yang dihapus dan yang ditambahkan.

3. Dengan jumlah bab yang berkurang dan ayat baru hasil amandemen sebanyak 89%, menjadi pertanyaan besar, apakah UUD hasil amandemen tahun 2002 masih dapat dikatakan sebagai UUD 1945.

4. Banyak ayat-ayat baru yang sehubungan dengan perekonomian negara, dinilai sebagai bentuk neo-liberal, yang membuka pintu bagi asing untuk lebih menguasai SDA dan perekonomian RI.

5. Adanya ayat yang sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, yaitu Pasal 28 G ayat 2.

Pembukaan UUD 1945 harus menjadi sumber hukum di RI, sehingga apabila ada ayat yang bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, maka ayat tersebut harus dihapus.

Saya termasuk yang berpendapat, bahwa semakin menguatnya dominasi asing di sektor perekonomian dan pengurasan kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia, disebabkan oleh penambahan ayat-ayat yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai pembuka pintu untuk masuknya pemodal raksasa asing dan membuat perekonomian Indonesia menjadi ekonomi neo-liberal.

Masuknya jaringan super dan hyper market asing ke Indonesia serta makin menjamurnya jaringan mini market milik pemodal besar, menghancurkan pasar-pasar tradisional milik Bumiputra, yang tidak sanggup bersaing karena kekurangan modal dan belum memiliki kemampuan berkompetisi dalam ekonomi pasar bebas melawan pemodal raksasa yang memiliki jaringan nasional dan internasional.

Akibatnya, para Bumiputra hanya menadi karyawan atau pelayan dari mini, super dan  hyper market milik asing dan pemodal besar.

Ini hanya contoh kecil, yang mempunya dampak besar, yaitu menghancurkan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Belum kita bicarakan mengenai berbagai UU yang memuluskan jalan untuk pemodal besar asing untuk menguasai sektor pertambangan dan berbagai bidang usaha lain.

Jelas, para penikmat perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002 akan melakukan segala cara dan mengerahkan semua kekuatan untuk mempertahankan UUD 2002.

Para pemodal raksasa asing tentu harus menggunakan kaki-tangan atau antek-antek mereka di Indonesia. Dengan demikian, untuk kesekian-kalinya sesama anak-bangsa akan dibenturkan untuk kepentingan asing.

Melihat hal ini, maka demi menjaga kesatuan dan persatuan Bangsa serta menjaga kedaulatan NKRI, kita harus kembali ke UUD 1945.

Hampir seluruh rakyat Indonesia kini melihat, bahwa pada saat ini ancaman disintegrasi bangsa sudah sangat besar. Ancaman ini terutama dilakukan oleh kekuatan asing melalui antek-anteknya di dalam negeri Indonesia.

Mengenai siapa-siapa saja di Indonesia yang patut diduga sebagai kaki-tangan asing, telah saya paparkan di Catatan Akhir Tahun 2015, yang saya ke weblog saya tanggal 31 Desember 2015 dengan judul "Mereka Yang Tidak Pernah Memiliki Nasionalisme".

Catatan awal tahun 2017 ini dapat dipandang sebagai kelanjutan dari Catatan Akhir 2015. [***]

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya