SEMPAT terberitakan bahwa calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mengaku sedang berupaya memperbaiki sikapnya dengan mulai belajar menggunakan kata-kata yang tidak kasar akibat banyak pihak menyarankan agar dia memperbaiki sikap.
"Namanya juga Ahok versi baru" demikian kata Ahok di hadapan warga pendukungnya di Rumah Lembang, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Ahok, dirinya sudah berkomitmen melakukan perubahan ke arah lebih baik. Menurut Ahok, hal terpenting yang harus dilakukannya saat ini adalah mau menerima saran dan teguran dari orang lain.
"Manusia kalau ditegur harus bisa berubah, itu yang lebih penting karena setiap orang bisa khilaf " ucap Ahok.
Apabila berita itu bukan hoax, maka kita layak mensyukuri Ahok versi baru! Akhirnya Ahok berkenan mengabulkan permohonan yang saya ajukan melalui Surat Terbuka yang sempat dimuat pada media cetak pada edisi 25 Maret 2015. Semula sang Gubernur Jakarta menolak permohonan (sekali lagi : permohonan, bukan kritik) saya agar beliau tidak menggunakan kata-kata kasar sebab dikuatirkan menyakiti hati masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa dengan kata-kata kasar.
Alih-alih mengabulkan permohonan saya, malah Ahok menyebut saya berotak warga kelas dua, provokator bahkan rasis yang disampaikan secara terbuka lewat wawancara dengan media massa. Reaksi negatif Ahok terhadap saya didukung para
die hard cheerleaders Ahok. Menarik, bagaimana para pendukung Ahok membenarkan perangai kasar Ahok dengan dogma bahwa lebih baik kasar tetapi tidak korup ketimbang halus tetapi korup. Tampaknya mereka lupa bahwa yang paling baik adalah tidak kasar dan tidak korup!
Sebenarnya saran agar Ahok jangan berkata kasar juga diberikan oleh Wapres Jusuf Kalla serta mantan Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif sempat menyatakan bahwa lidah Ahok itu liarâ€. Seperti yang saya kuatirkan, terbukti bahwa kata-kata kasar Ahok secara lambat namun pasti memicu kebencian mereka yang merasa tersakiti oleh kata-kata kasar Ahok.
Kebencian terus akumulatif memuncak sampai akhirnya merebak menjadi rangkaian gerakan massa turun ke jalan dalam jumlah besar. Mujur, unjuk rasa terbukti tidak lepas kendali menjadi huru-hara! Rupanya, akhirnya Ahok tersadar bahwa kata-kata kasar memang lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Peradaban adiluhur bangsa Indonesia memang lebih menjunjung tinggi sikap, perilaku dan tutur-kata halus ketimbang kasar.
Upaya Ahok memperbaiki diri layak disyukuri, dihormati dan dihargai. Apabila Ahok benar-benar konsekuen dan konsisten memperbaiki diri , Insya Allah penampilan Ahok versi baru berdampak positif meningkatkan elektabilitas sebagai cagub Jakarta setelah sempat merosot akibat amarah masyarakat terhadap kata-kata kasar Ahok yang diduga melakukan penistaan agama.
[***]Penulis mendukung upaya Ahok memperbaiki diri