SAYA diminta untuk menulis pendapat saya pribadi tentang perlu-tidaknya kita kembali ke UUD 1945 yang asli. Terus terang, permintaan ini berhasil membuat saya terbingung-bingung. Saya baru sadar bahwa ternyata ada UUD 1945 yang asli.
Jika ada yang Asli berarti ada yang palsu. Celakanya adalah yang dipertanyakan adalah perlu-tidaknya kita kembali ke UUD 1945 yang asli! Berarti UUD 1945 yang kini sedang kita gunakan justru yang palsu.
Saya menjadi teringat ke produk aksesori kaliber super mewah yang pada kenyataan di pasar justru lebih banyak yang palsu ketimbang yang asli! Celakanya produk yang palsu lebih banyak digemari sebab harganya jauh lebih murah ketimbang produk yang alsi, sementara dalam hal penampilan organoleptik tidak terlalu mudah ketahuan mana yang palsu mana yang asli. Tergantung siapa yang menggunakannya.
Jika yang menggunakan dikenal termasuk daftar orang terkaya di Indonesia maka tas berlogo Hermes yang ditentengnya langsung divonis sebagai produk asli. Namun jika yang menentengnya kebetulan tidak dikenal status kekayaan bendawinya, maka tas Hermes yang ditentengnya langsung dicemooh palsu.
Pada kenyataan industrial memang sudah lazim bahwa produk mewah negara-negara maju dibuat di negara-negara kurang maju dalam arti biaya produksi lebih murah akibat UMK jauh lebih rendah. Dan wajar produk mewah yang dibuat di negeri dengan UMK lebih murah bisa diam-diam dipasarkan dengan harga jauh lebih murah padahal mutunya sama akibat yang membuat sama.
Maka pada hakikatnya, di masa kini masalah palsu atau asli sudah menjadi kurang relevan apalagi setelah hadir produk palsu yang memang nyata dibutuhkan seperti misalnya gigi, bola mata, kaki atau tangan sampai kumis atau alis palsu. Keterampilan bedah kosmetik juga sangat dibutuhkan untuk membuat bagian tubuh mulai dari bulu mata, alis, hidup, bibir sampai lipatan mata palsu.
Deodoran juga ampuh membuat bau badan yang tidak asli alias palsu. Bahkan rasa makanan palsu seperti daging palsu untuk kaum vegetarian sulit dibedakan dari daging asli. Robot pada hakikatnya merupakan suatu bentuk manusia palsu yang malah dalam hal akurasi lebih bisa diandalkan ketimbang manusia.
Sebutan
artificial inteligence secara tanpa malu-malu mengakui kepalsuan dirinya.
Berdasar telaah kelirumologis mengenai segenap kenyataan serba palsu yang ternyata sudah kaprah hadir di peradaban umat manusia masa kini, maka bagi saya pribadi yang kebetulan pendiri Pusat Studi Kelirumologi, sebenarnya palsu atau aslinya UUD 1945 menjadi lebih tidak terlalu penting ketimbang baik atau buruknya niat dan cara penggunaan UUD 1945 demi kepentingan negara, bangsa dan terutama rakyat Indonesia.
Selama suatu undang-undang digunakan hanya terbatas bagi kepentingan golongan, kelompok apalagi insan tertentu saja, dengan sendirinya sang undang-undang terlepas palsu atau asli , langsung berfungsi sebagai sesuatu yang tidak baik .
Tentu saja, pendapat saya pribadi sekadar terbatas pada upaya melaksanakan permintaan redaksi
Kantor Berita Politi RMOL, maka sama sekali tidak layak menjadi pedoman untuk menentukan nasib bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Lebih baik, apabila para ilmuwan, ahli dan pemikir hukum tata negara berkenan menyempatkan diri untuk duduk bersama sesuai asas kerakyatan yang tersirat dan tersurat di dalam Pancasila, demi bergotong-royong menyelenggarakan musyawarah-mufakat mencari titik temu antara beda pendapat mengenai perlu-tidaknya kita kembali ke UUD 1945 yang asli.
[***]Penulis adalah pendiri Pusat Studi Kelirumologi