Berita

Foto/Net

Bisnis

Pengusaha Salahkan Mahalnya Biaya Energi & Banyak Pungutan

Presiden Jokowi Soroti Merosotnya Ekspor Tekstil
SABTU, 10 DESEMBER 2016 | 08:08 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Presiden Jokowi menyoroti terus merosotnya nilai ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai tingginya biaya produksi menjadi penyebab sulit bersaingnya industri tekstil lokal.

Ketua Umum API Ade Sudrajat mengatakan, banyak kendala yang dihadapi pengusaha tekstil untuk meningkatkan ekspornya. Selain karena lesunya ekonomi global, tingginya tarif listrik dan harga gas membuat biaya produksi membengkak.

"Untuk energi kita menilai itu sangat penting, sampai sekarang tarif listrik dan harga gas masih menjadi beban. Dan belum ada penurunan padahal pengaruhnya sangat besar," kata Ade kepada Rakyat Merdeka, kemarin.


Menurut dia, gas bagi industri TPT digunakan sebagai ba­han baku maupun energi, yang berkontribusi hampir 22 persen terhadap seluruh biaya produksi. Karena itu, pengurangan biaya energi akan berdampak langsung pada ongkos produksi.

Selain itu, Ade mengungkap­kan, sulitnya industri tekstil bersaing di pasar global adalah banyaknya pungutan pajak yang dibebankan kepada pengusaha. Akibatnya, produk tekstil kita daya saing kalah dari Vietnam dan Bangladesh.

Saat ini, Vietnam dan Bangla­desh masing-masing menguasai pasar ekspor dunia 3,62 persen dan 4,05 persen. Sementara Indonesia hanya 1,56 persen. Mereka lebih maju selangkah.

"Di Indonesia pajaknya ban­yak, terutama PPN (Pajak Per­tambahan Nilai). Dari kapasnya sudah PPN, pemintalan kena PPN, dijual jadi kain kena PPN lagi, sudah produk jadi kena lagi PPN. Itu baru PPN saja, dari hulu ke hilirnya banyak sekali pajaknya," keluhnya.

Dia juga mengeluhkan, pe­merintah Indonesia tidak punya akses pasar yang bagus untuk Eropa dan Amerika. Sehingga industri yang ingin menjual barang harus dikenakan tarif hingga 30 persen. "Padahal negara tetangga atau pesaing kita itu bisa bebas menjual di sana tanpa tarif," tuturnya.

Ade mengatakan, industri tekstil kekurangan sumber daya manusia yang sesuai kualifikasi dan berdaya saing. Bahkan, program pemerintah dengan melakukan latihan kerja belum maksimal memenuhi kebutuhan industri ini.

Terakhir, kata dia, masih maraknya peredaran tekstil ilegal. Keberadaan produk ile­gal itu menggerus bisnis tekstil nasional.

Sekjen API Ernovian G Ismy menargetkan, ekspor tekstil dan produk tekstil tahun depan di­targetkan naik 8 persen menjadi 13,9 miliar dolar AS diband­ingkan estimasi tahun ini 12,9 miliar dolar AS.

Tahun lalu, kata dia, ekspor tekstil turun 4 persen, sedangkan tahun ini diprediksi hanya naik paling tinggi 5 persen. Idealnya, pertumbuhan ekspor tekstil set­iap tahun berkisar 8-11 persen. Dengan demikian, pertumbuhan ekspor tahun ini kurang tak berdampak signifikan terhadap industri tekstil nasional.

Dia meminta, pemerintah bisa meningkatkan perjanjian perda­gangan bebas dengan Eropa dan Amerika supaya bisa bersaing dengan Vietnam.

Sebelumnya, Pesiden Jokowi menyoroti rendahnya ekspor sektor industri tekstil dan produksi tekstil Indonesia. Hal itu tercermin dari menurunnya ekspor tekstil periode Januari-Oktober 2016 sebesar 4,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Menurutnya, Indonesia tert­inggal jauh dengan negara tet­angga, seperti Vietnam dan Bangladesh yang mampu men­guasai 3,62 persen dan 4,05 persen pasar tekstil dunia. Selain itu, produk tekstil lokal kalah bersaing dengan produk impor di negara sendiri.

"TPT kita juga belum mampu menguasai pasar domestik kar­ena serbuan produk impor yang sering masuk lewat praktik ilegal, modus impor borongan atau rembesan kawasan berikat," tuturnya.

Ia membandingkan hal ini dengan industri tekstil Jepang, China, dan Korea Selatan yang mengembangkan manufaktur tekstil dan produk tekstil sebagai langkah awal revitalisasi menuju negara industri. Karena itu, dia menginstruksikan kementerian terkait melakukan terobosan mengatasi permasalahan ini, supaya industri tekstil bisa ber­saing dengan negara lain.

Hal itu bisa terlaksana melalui kemudahan prosedur impor ba­han baku produksi, penyederha­naan proses impor bahan baku, termasuk pengimplementasian penurunan harga gas keperluan industri ini.  ***

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

KPK Siap Telusuri Dugaan Aliran Dana Rp400 Juta ke Kajari Kabupaten Bekasi

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:10

150 Ojol dan Keluarga Bisa Kuliah Berkat Tambahan Beasiswa GoTo

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:01

Tim Medis Unhas Tembus Daerah Terisolir Aceh Bantu Kesehatan Warga

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:51

Polri Tidak Beri Izin Pesta Kembang Api Malam Tahun Baru

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:40

Penyaluran BBM ke Aceh Tidak Boleh Terhenti

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:26

PAN Ajak Semua Pihak Bantu Pemulihan Pascabencana Sumatera

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:07

Refleksi Program MBG: UPF Makanan yang Telah Berizin BPOM

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:01

Lima Tuntutan Masyumi Luruskan Kiblat Ekonomi Bangsa

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:54

Bawaslu Diminta Awasi Pilkades

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:31

Ini yang Diamankan KPK saat Geledah Rumah Bupati Bekasi dan Perusahaan Haji Kunang

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:10

Selengkapnya