Rachmawati Soekarnoputri/Net
Adik kandung bekas Presiden Megawati Soekarnoputri tegas membantah tuduhan ingin menggulingkan pemerÂintah alias makar yang disangkakan padanya. Rachma menyebut, tidak ada niat sama sekali untuk melakukan makar. "Sebagai anak proklamator, saya tahu rambu-rambu hukum," ujarnya.
Dia menegaskan, tak ada pemÂbicaraan soal makar, baik dalam pertemuan di Universits Bung Karno (UBK) atau pun di hotel pada 1 Desember 2016. Saat itu agenda yang dibahas hanyalah Aksi Bela Islam untuk menuntut penahanan Ahok, dan soal aksi bela negara menuntut Undang - Undang Dasar 1945 kembali ke bentuk aslinya.
"Jadi, saat saya melakukan jumpa pers pada 1 Desember, itu sebetulnya merupakan hasil kesÂepakatan tanggal 20 November di UBK. Sementara pertemuan di UBK, serta rencana aksi pada 2 Desember itu merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak tahun lalu," terangnya.
Berikut wawancara lengkapÂnya;
Jadi anda sudah mulai merÂencanakan aksi bela negara dan bela Islam sejak tahun lalu?Tidak, hanya soal bela negaÂra, mengembalikan UUD 1945 ke bentuk aslinya yang dibahas sejak tahun lalu. Soal bela Islam itu baru dibahas pada Oktober 2016, ketika Ahok menyampaikan soal Al Maidah ayat 51. Tapi kedua masalah tersebut saya anggap sebagai satu rangkaian.
Maksudnya?Jadi pada 30 Oktober 2016, saya mengunjungi Pimpinan FPI, Habib Rizieq Shihab untuk bertukar pikiran soal isu keÂbangsaan, termasuk penegakan hukum terhadap Ahok. Dari pertemuan itu, Habib Rizieq mendukung upaya bela negara dengan menuntut pengembalian UUD 45 dan Pancasila yang asli. Sejak saat itu dua persoalan tersebut terus kami bahas. Itu maksudnya.
Tahun lalu, masalah bela negara itu anda bahas berÂsama siapa saja?Saya bahas bersama beberapa tokoh Gerakan Selamatkan NKRI, yakni Djoko Santoso, Lily Wahid, Syamsu Djalal dan Hatta Taliwang. Kami langÂsung bertemu dengan Ketua MPR, Zulkifli Hasan pada 15 Desember 2016 guna menyamÂpaikan agar kembali ke naskah UUD 1945 asli. Dan responnya saat itu positif, karena beliau tahu kami hanya menyampaikan aspirasi. Begitu juga dengan aksi yang kami rencanakan pada 2 Desember.
Tapi menurut polisi, aksi tersebut lebih dari sekadar penyampaian aspirasi, karena ada tuntutan untuk menggulÂingkan pemerintah?Soal itu sebetulnya sama sekaÂli tidak menjadi tuntutan kami. Jadi pada November kemarin saya bertemu dengan saudara Sri Bintang Pamungkas. Dia mengatakan kepada saya sudah membentuk Front People Power Indonesia dengan tiga tuntuÂtan. Satu kembali ke UUD 1945, dua lengserkan Jokowi-JK, tiga bentuk pemerintahan transiÂsi. Saya tidak setuju dengan poin dua dan tiga, dan menegaskan akan menggunakan soft landing. Jadi tuntutan kami hanya sampai kepada permintaan mengadakan sidang istimewa untuk mengemÂbalikan UUD 1945.
Kabarnya massa yang dikÂerahkan dalam aksi tersebut 10 - 20 ribu orang. Untuk apa mengerahkan massa sebesar itu?Untuk meminta pimpinan MPR keluar, untuk menerima aspirasi dan petisi soal UUD 45.
Bukan untuk menduduki gedung MPR/DPR?Bukan. Aksi kami hanya akan sampai di depan gedung. Dalam surat yang kami tujukan ke Polda Metro juga sudah kami jelaskan, bahwa aksi kami di luar gedung bukan di dalam. Sehari kemudian juga kami sudah jelaskan dalam konpers di Sari Pan Pasifik.
Jadi tidak ada upaya untuk kami menduduki Gedung DPR/MPR. Itu instruksi saya berikan berkali-kali, walaupun ada ceÂlotehan begini-begini, tidak.
Massanya disebut akan diÂgunakan menunggangi akÂsi doa bersama di Monas, Jakarta Pusat?Saya coba mengatakan, kami jangan dituding menunggangi aksi GNPF (MUI). Ini aksi kami sendiri. Kalau meraka mau ke sana, itu urusan mereka.
Kenapa anda meminta UUD 45 supaya dikembalikan ke aslinya?Karena saya lihat, akibat dari amandemen yang dilakukan tahun 2002 yang ditandatangani oleh Megawati, itu mengubah siÂfat konsitutsi kita yang didekritÂkan oleh Presiden Soekarno tahun 1959. Saya lihat konstituÂsi negara telah berubah menjadi kapitalis dan liberal. Terutama pasal 33, jadi menghilangkan aspek dari keadilan sosial, sehÂingga akibatnya seperti ini dan produk sekarang ya jadi liberal kapitalistik.
Anda kan ditetapkan sebaÂgai tersangka dengan dugaan berniat melakukan makar. Tanggapannya?Saya menilai, ada upaya menÂgucilkan tokoh-tokoh kritis dari tengah masyarakat. Insting poliÂtik saya mengatakan, ini ada upaya pembusukan dari dalam.
Apa alasannya anda berÂpendapat demikian?Karena tidak ada upaya makar, tapi dipaksakan seolah-olah kami ini suatu komplotan perÂmufakatan jahat yang katanya gitu ya, dan tidak berdasar sama sekali. Sebetulnya pola-pola ini, yang saya lihat tidak beda jauh dengan saat penjajahan Belanda dulu. Zaman penjajahan Belanda dulu, Bung Karno diberlakukan kayak gitu.
Lalu apa yang akan anda lakukan?Tidak ada. Saya tidak berenÂcana mengajukan prapradilan atas kasus ini. Harapan saya pihak Kepolisian memaklumi keadaan ini, setelah mendengarkan penjelasan ini. ***