KORUPSI yang dilakukan secara serentak oleh pejabat publik saat ini merupakan cerminan dari rusaknya lembaga pendidikan. Mereka semua bisa jadi merupakan pelajar terbaik dari sekolahnya, tapi menjadi pelayan publik yang terburuk yang didapatkan oleh rakyat. Korupsi di Indonesia bagaikan sebuah penyakit yang menular ke semua sendi-sendi kehidupan hingga menjadi permasalahan yang sistemik. Oleh korupsi pula bangsa ini dibuat rusak, hancurnya tatanan ekonomi dan politik, mahalnya biaya pendidikan serta semakin tidak terjangkaunya layanan kesehatan dan kebutuhan pokok oleh masyarakat.
Perlu disadari, dimanapun di dunia ini korupsi tidak pernah bisa dihapus secara mendadak. Penyusutan, pemudaran, dan pelumpuhan korupsi dari suatu bangsa selalu berangsur-angsur dalam kasus Indonesia mungkin diperlukan puluhan tahun sebelum kita bisa merasakan, korupsi benar-benar terkendalikan dalam kehidupan kita. Melihat kompleksnya masalah korupsi dan sulitnya membasmi penyakit ini, semua pihak yang masih memiliki akal sehat, hati nurani, dan kesetiaan kepada ajaran agama sudah selayaknya menyatakan 'perang' melawan korupsi. Tentunya gerakan tersebut dilakukan dengan sistematis dan dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan agar tidak mudah dibelokkan oleh kepentingan sesaat.
Pendidikan antikorupsi merupakan bagian dari upaya preventif dalam rangka pemberantasan korupsi. Dalam pendidikan antikorupsi diharapkan dapat mengupayakan pembinaan dan pembentukan moral, mental serta semangat antikorupsi bagi anak-anak indonesia sehingga pada masa mendatang akan lahir generasi antikorupsi.
Pembelajaran Berpikir Kritis
"Membosankan. Remeh. Formal. Hapalan". Ungkapan-ungkapan tersebut kerap dilontarkan peserta didik usai proses belajar-mengajar di kelas. Kesenjangan antara teori dan praktik, nilai-nilai antikorupsi, sukar dipahami oleh peserta didik yang selalu dihadapkan pada pemberitaan di televisi tentang banyaknya pejabat publik yang ditangkap KPK, sehingga nilai-nilai antikorupsi pun terasa sebagai omong kosong.
Paulo Freire, tokoh pendidikan Brasil dan teoritikus pendidikan yang berpengaruh di dunia menyebutkan bahwa generasi muda yang tidak kritis dan sekedar membeo saja ("parroting") terjadi karena pola pendidikan yang disuapi dimana peserta didik menjadi pasif. Sekalipun ada kesempatan berdiskusi, diskusi tersebut diarahkan agar semua pola berpikir kritis tidak terjadi. Hasilnya? Apatisme dan mentalitas tertindas. Mereka selalu melihat kekurangan yang ada sebagai "dosa" pihak lain dan merekalah yang menjadi korban. Mentalitas ini menghasilkan mata rantai ketidak-mampuan dan melahirkan generasi perusak yang agresif dan anti-sosial.
Bisa dikatakan metode pendidikan dalam pendidikan masih memiliki kelemahan karena dikonsentrasikan pada pengembangan otak kiri/kognitif yang cirinya adalah hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nuraninya.
Pendidikan antikorupsi bukanlah seperangkat aturan perilaku yang dibuat oleh seseorang dan harus diikuti oleh orang lain. Sebagaimana halnya dengan kejahatan lainnya, korupsi juga merupakan sebuah pilihan yang bisa dilakukan atau dihindari. Karena itu pendidikan pada dasarnya adalah mengkondisikan agar perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Dalam proses ini, kunci utama keberhasilan terletak pada sikap dan perilaku memahami perbedaan, menghargai beda pendapat, dan bersepakat (bukan sekedar karena kepentingan jangka pendek atau kelompok tertentu), dekonstruksi dan rekonstruksi tentang nilai-nilai anti korupsi, dan bahkan keleluasaan mengeluarkan resistensi terhadap teori-teori yang dikemukakan.
Implikasi terhadap pembelajaran adalah menjadikan aktifitas di kelas sebagai tempat bagi peserta didik untuk melatihkan dan membiasakan teraplikaskannya nilai-nilai dasar antikorupsi. Melalui pengerjaan tugas yang benar dan sesuai tuntutan yang diharapkan, peserta didik dilatih untuk menilai tinggi kerja keras. Melalui pelaksanaan yang ujian tanpa mencontek berarti menanamkan nilai kejujuran, melalui keterbukaan hasil penilaian Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk memaknai keuntungan dari suatu keterbukaan. Nilai bukanlah tujuan utama pembelajaran, tapi menjadi hasil karena mencintai proses belajar, mendekonstruksi pemahaman mapan (bukan indoktrinasi), dan memberi ruang berpikir kritis. Oleh karena itu pembelajaran antikorupsi tidak dapat dilaksanakan secara konvensional, melainkan harus didisain sedemikian rupa sehingga aspek kognisi, afeksi dan konasi peserta didik mampu dikembangkan secara maksimal dan berkelanjutan. Selamat Hari Antikorupsi Internasional Tahun 2016.
[***]Nahot Tua P. SihalohoPenulis adalah alumni Anti-Corruption Teacher Supercamp KPK Tahun 2016