Tersangka kasus penistaan agama Basuki T. Purnama tak ditahan karena para saksi ahli terbelah apakah kasus tersebut memenuhi unsur mens rea (niat jahat) atau tidak, ada kesengajaan atau tidak.
"Terjadi keterbelahan antara para saksi ahli tentang apakah ini kasus ada mens rea pidana atau tidak, ada unsur sengaja atau tidak," ungkap Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, di Senayan, Jakarta, Senin (5/12).
Tak hanya di kalangan saksi ahli, keterbelahan pun terjadi pada para penyidik yang kemudian mengambil keputusan dengan pengambilan suara. Mayoritas penyidik yang memeriksa kasus itu berpendapat bahwa kasus tersebut layak ditingkat ke kasus pidana. "Maka dinaikkan menjadi tersangka dan diberkas (dilimpahkan ke Kejaksaan Agung)," tandasnya.
Lebih lanjut dia menyatakan bahwa untuk melakukan penahanan terhadap seorang tersangka, penyidik kepolisian sesungguhnya harus melihat faktor objektif dan subjektif.
"Faktor objektif adalah ketika penyidik bulat, mutlak dan telak mereka menyatakan yakin. Sebaliknya kalau belum bulat maka kita tidak ingin mengambil resiko untuk melakukan penahanan. Jadi fakta hukum menjadi masalah bukan tekanan publik," jelasnya.
Tito membandingkan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok dengan kasus pembunuhan aktifis HAM Munir yang dilakukan oleh Polycarpus. Ketika itu Polycarpus tidak langsung ditahan karena polisi menilai alat bukti yang digunakan tidak terlampau "telak".
"Sehingga diserahkan pada pengadilan yang memutuskan meskipun sebagai tersangka," tambahnya.
Tapi, tersangka kasus lain yang suara penyidiknya tidak bulat pun tidak serta merta menjadikan polisi untuk tak menahan tersangka. Misalkan kasus kopi bersianida yang melibatkan tersangka Jessica Kumala Wongso.
"Sebagaimana juga, kasus Jessica, saya sebagai kapolda, itu terjadi perbedaan pendapat meskipun kita yakini dia sebagai tersangka tapi masih ada beberapa hal yang menurut penyidik perlu diambil langkah-langkah. Perlu diungkap seperti asal sianida dan lain-lain. Tapi karena ada hal subjektif melarikan diri maka kemudian dilakukan penahanan. Kasusnya dipengadilan sudah selesai," benernya.
Nah, jika kasus Ahok dibandingkan dengan kasus penistaan agama yang dilakukan Arswendo, dan Lia Eden, penyidik melihat bahwa bukti yang mereka kantongi adalah bukti yang dinilai cukup "telak" dan "mutlak".
"Karena dalam kasus Arswendo itu terjadi poling, polingnya Nabi Muhammad Saw dimasukkan sebagai tokoh populer diranking no 11. Sementara Arswendo ranking 10. Tentu banyak pihak terlukai dengan itu. sehingga bagi penyidik itu mutlak. Kebetulan saya masih letnan satu ikut di kasus itu," katanya.
"Lia Eden pembuktiannya juga mudah. Karena yang bersangkutan menganggap bahwa dirinya titisan Nabi Muhammad SAW. Itu juga pembuktiannya sangat mudah karena bagi umat Islam Nabi Muhammad adalah satu," tutupnya menjelaskan.
[zul]