BERBAGAI dampak fenomena sosial-budaya tampil ke permukaan kehidupan masyarakat Indonesia masa kini terutama justru yang bersifat positif dan konstruktif mencerminkan kedewasaan sikap dan perilaku dalam menghadapi perbedaan pendapat sebagai bagian hakiki bahkan sukma sejati apa yang disebut sebagai demokrasi.
Pada hakikatnya, makna semangat demokrasi sebelum istilah asing itu hadir bahkan merakyat di persada Nusantara sebenarnya sejak terlebih dahulu sudah tersirat di dalam Pancasila mulai dari Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Satu di antara sekian banyak dampak positif konstruktif akibat perbedaan pendapat adalah fenomena pengumpulan massa demi mengungkapkan pendapat dan aspirasi berbagai kelompok masyarakat yang saling beda satu dengan lainnya.
Tampak secara jelas adalah rangkaian unjuk-rasa dengan niat positif konstruktif dimulai dari pertengahan Oktober 2016 sampai dengan awal Desember 2016 yang dilakukan dalam suasana Bhinneka Tunggal Ika, berbagai kelompok masyarakat yang memiliki pendapat saling beda bahkan bertolak belakang satu dengan lainnya. Meski saling beda pendapat namun segenap kelompok bersatupadu dalam semangat berlandaskan segenap sila yang tersurat dan tersirat di dalam Pancasila demi bukan merusak namun menjunjung tinggi harkat dan martabat peradaban adiluhur bangsa Indonesia.
Semangat turun ke jalan demi mengungkapkan aspirasi masing-masing kelompok ternyata sedemikian menggebu hingga timbul kesan persaingan dalam suasana kompetitif yang eskalatif makin menggelora. Masing-masing kelompok penyelenggara unjuk-rasa, aksi-damai, parade, pawai, jalan santai atau entah apa lagi sebutannya terkesan tidak mau kalah ketimbang kelompok penyelenggara lainnya.
Yang membahagiakan adalah bahwa semangat tidak mau kalah mengelora bukan dalam makna negatif destruktif seperti melakukan merusak lingkungan dan melakukan kekerasan ragawi namun dalam makna positif konstruktif yang secara sadar menghindari sikap dan perilaku destruktif seperti merusak lingkungan dan melakukan kekerasan ragawi.
Tampak jelas hadir mashab kelirumologis dalam proses trial and error yaitu proses belajar berdasar pengamatan tentang kekeliruan-kekeliruan yang telah dilakukan kemudian berupaya memperbaiki kekeliruan-kekeliruan di masa lalu tersebut demi menghadirkan sikap dan perilaku yang lebih benar di masa kini dan masa depan.
Misalnya kerusakan taman dan pembuangan sampah pasca aksi-damai yang secara bertahap namun pasti terus-menerus makin dihindari dan diperbaiki dari aksi damai ke aksi damai. Bahkan kekerasan verbal yang tampil pada aksi-damai terbukti terus-menerus makin menurun kuantitas dan kualitasnya dari aksi-damai ke aksi-damai selanjutnya.
Pendek kata segenap pihak terhanyut dalam arus keasyikan untuk berlomba untuk TIDAK melakukan kekerasan.
Tampak jelas bahwa para pelaku aksi-damai secara kelirumologis dalam makna memperbaiki kekeliruan masa lalu demi masa kini dan masa depan yang lebih baik, benar-benar bersaing ketat dalam menghindari hal yang buruk demi menghadirkan hal yang baik.
Silakan masing-masing berpendapat saling beda dalam menilai fenomena persaingan positif dalam sikap dan perilaku masyarakat Indonesia masa kini dalam turun ke jalan demi mengungkapkan aspirasi masing-masing kelompok bahkan insan.
Namun mohon dimaafkan bahwa saya pribadi dengan penuh kerendahan hati memberanikan diri untuk menilai bahwa semangat berlomba TIDAK melakukan kekerasan merupakan suatu fenomena sosial-budaya bersukma positif dan konstruktif dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat peradaban adiluhur bangsa Indonesia selaras dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. MERDEKA!
[***]Penulis adalah budayawan anti kekerasan