Sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) menggelar aksi di depan Balai Kota Jakarta dan Istana Negara. Mereka mengeluhkan nasib buruh yang kian sulit akibat berbaÂgai kebijakan pemerintah.
Para buruh menilai pemerinÂtah lebih pro pada pengusaha dibanding memperhatikan tunÂtutan mereka. Mereka juga mengeluhkan buruknya pelayanÂan BPJS Kesehatan kepada masyarakat miskin.
Ribuan buruh mulai memadati Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, sekitar pukul 11.00 WIB, kemarin. Mereka memÂbawa spanduk yang bertuliskan beberapa tuntutan, yakni pemerÂintah perlu mencabut PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, merevisi Pergub No 221 tahun 2016 tentang UMP DKI Jakarta tahun 2017, dan menolak revisi UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai merugikan buruh.
Ketua Umum Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KEP SPSI), Rahmad Abdullah, dalam keterangan persnya menuturkan, amandemen UUD 1945 telah mengakibatkan negara kita kehilangan visi dan tujuannya sebagai negara kesÂejahteraan (
welfare state).
"Sistem ekonomi yang berÂwatak kerakyatan dan anti kolonial berubah jadi sistem ekonomi liberal yang mengabdi kepada asing dan mengabdi pada rezim pasar bebas yang dikuasai kapitalis liberal internasional," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Ia menilai, saat ini hampir seluruh sumber daya alam Indonesia dikuasai asing, sampai tenaga kerja asing pun bebas masuk ke pasar kerja domestik.Alhasil, rakyat Indonesia hanya menjadi tamu asing di negerinya sendiri.
"Hal tersebut tidak sejalan dengan gagasan Trisakti yang dicetuskan Bung Karno," sebutnya.
Abdullah menuding, pemerintahan saat ini menganut paham neo-liberal yang lebih cenderung berpihak kepada pihak pengusaha dibanding rakyat Indonesia.
Karena itu, katanya, segala peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja akan segera diganti atau direvisi memberikan kenikmatan yang berlebih kepada pihak pengusaha.
Salah satu produk perundang-undangan yang akan direvisi adalah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "Sepertinya pemerintah akan mengulangi rencananya yang gaÂgal pada tahun 2006, yang berkeÂinginan mengurangi ketentuan pesangon, mempermudah PHK oleh pengusaha tanpa melalui prosedur hukum yang benar, mempersulit atau memperketat mogok kerja," ungkapnya.
Pemerintah dituding akan memberikan kebebasan bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerja dengan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja (PPJP) tanpa batas, dan proses penenÂtuan upah minimum tanpa harus melibatkan pihak tripartit.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin (FSP LEM) SPSI, Arif Minardi, menyebutkan sikap pemerintah yang lebih pada keÂinginan melindungi pengusaha, telah dibuktikan dengan memÂbentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Dia menilai PP no. 78/2015 telah melanggar Pasal 9, Pasal 27 ayat (2) dan pasal 28D ayat (2) UUD 1945, melanggar UU no. 13 tahun 2003, melanggar pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta berÂtentangan dengan Konvensi ILO No. 144 mengenai Konsultasi Tripartit yang telah diundangkan pemerintah dengan Keppres no. 26 Tahun 1990, dan Keputusan Presiden no. 107 tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan.
"Pemerintah tampaknya tidak peduli terhadap hak pekerja dan keluarganya untuk mendapatkan penghasilan yang layak bagi keÂmanusiaan," keluhnya. ***