Berita

Ahok/Net

Hukum

Gelar Perkara Terbuka Di Kasus Ahok Tidak Diharamkan

RABU, 09 NOVEMBER 2016 | 11:35 WIB | LAPORAN: RUSLAN TAMBAK

. Gelar perkara secara terbuka yang akan dilakukan oleh Polri terkait kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahja Purnama alias Ahok bisa dijadikan suatu terobosan baru bagi proses penyelidikan atau penyidikan dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Law Reform Institute (ILRINS), Jeppri F Silalahi dalam keterangan resminya, Rabu (9/11).

Saat ini beberapa peneliti ataupun pengamat maupun politisi berpendapat bahwa gelar perkara secara terbuka tidak memiliki dasar hukum, bahkan dianggap melanggar asas due process of law. Menurut Jeppri pendapat itu sangatlah keliru, sebab gelar perkara adalah merupakan bagian dari satu kesatuan proses yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas sebuah kasus dan sekaligus menjadi ruang klarifikasi bagi pelapor dan terlapor serta masyarakat yang mempunyai kepentingan dalam kasus tersebut.


Jelas Jeppri, gelar perkara bisa dilakukan dalam tahap penyelidikan, karena penyelidikan merupakan tindakan tahap permulaan bagi penyidikan dan merupakan salah satu cara dan bersifat kehati-hatian dalam penyidikan. Sebab dari gelar perkara ini lah nantinya dapat ditentukan apakah pernyataan Ahok yang dituduhkan pelapor merupakan tindak pidana penistaan agama atau bukan dikupas secara objektif dan jelas, dengan meminta pandangan beberapa ahli agar penyidik menetapkan status hukum seseorang tidak berdasarkan intervensi pimpinan maupun tekanan dari pihak-pihak lainnya.

"Gelar perkara ini kan juga pertimbangannya jelas sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Pasal 69 huruf (b) juncto Pasal 71 ayat 2 huruf (b), yakni kasus yang menjadi perhatian publik secara luas. Walaupun tidak diatur dan disebutkan dalam pasal tersebut gelar perkara secara terbuka bukan berarti tidak boleh dilakukan. Dalam hukum ada asas legalitas, yang pada prinsipnya jika dilakukan bukanlah pelanggaran atau diharamkan kecuali ada ketentuan dan peraturan yang melarangnya," sebutnya.

Jeppri menyatakan, jika kita cermati sebenarnya gelar perkara terbuka ini adalah merupakan jawaban dari kepolisian untuk memenuhi tuntutan para pihak yang menginginkan kasus ini segera diproses semenjak dilaporkan ke Polisi pada 7 Oktober. Dan pada 10 Oktober, Ahok menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan menjelaskan tidak ada maksud melecehkan agama Islam atau apapun. Agar menghindari polemik yang berkepanjangan atas inisiatif sendiri Ahok pada 24 Oktober mendatangi Bareskrim untuk memberikan keterangan sebagai bentuk klarifikasi soal ucapannya yang mengutip Surat Al-Maidah Ayat 51.

Akan tetapi pada 4 November terjadi demonstrasi besar-besaran untuk mendesak kembali dan menuntut agar proses hukum Ahok segera diselesaikan dengan segala ancaman yang ditujukan kepada Presiden Jokowi. Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa ada kelompok-kelompok dan politisi yang kader partainya ikut menuntut penyelesaian segera terhadap kasus Ahok ini justeru menolak untuk digelar perkara secara terbuka. Menurut Jeppri ini aneh, apakah mereka juga beranggapan bukti-bukti yang diajukan pelapor sangat lemah sehingga takut digelar secara terbuka di hadapan publik, atau sengaja ingin memanfaatkan kasus ini semata demi kepentingan politik pihak tertentu.

"Saya sangat mengapresiasi dan mendukung Bapak Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang cepat merespon untuk menyelesaikan kasus tuduhan penistaan agama ini, agar meminimalisir ruang politisasi kasus ini dari kepentingan kepentingan politik yang tak bertanggung jawab," ujar Jeppri.

Ia menambahkan, karena kasus tuduhan penistaan agama ini luar biasa menjadi perhatian publik, maka sudah sewajarnya dan sebaiknya polri melakukan gelar perkara yang tidak biasa, yakni gelar perkara secara terbuka agar publik dapat menilai kasus ini. Dan disisi lain momentum ini juga dapat digunakan untuk memperlihatkan bahwa Polri akuntabel, profesional, modern, terpercaya sehingga dapat menghindari tuduhan negatif dikemudian hari.

"Dan saya mengingatkan kembali kepada semua pihak agar menghormati bagian proses hukum ini. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum alias echtstaat bukan negara main hukum sendiri," demikian Jeppri. [rus]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya