Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlalu memaksakan pelimpahan berkas perkara kasus dugaan suap penambahan rekomendasi kuota distribusi gula impor untuk wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang menyeret mantan Ketua DPD Irman Gusman ke pengadilan.
Penasehat hukum Irman, Razman Arief Nasution menjelaskan, langkah yang dilakukan KPK tidak menghormati proses hukum praperadilan yang tengah ditempuh kliennya.
"P21 (berkas perkara lengkap) ini dipaksakan oleh KPK. Kenapa KPK tak menghormati praperadilan Pak Irman. Harusnya tunggu dululah sampai praperadilannya selesai. Terakhir itu praperadilan Siti Fadilah Supari (eks Menkes), ditunggu oleh KPK," terang dia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (28/10).
Razman menjelaskan, dalam praperadilan ini, pihaknya menitikberatkan pada proses penangkapan Irman, Sabtu 17 September 2016. Apalagi, ahli yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, Laica Marzuki menyebutkan bahwa penangkapan Irman oleh KPK tidak sah. Sebab, tidak ada istilahnya operasi tangkap tangan (OTT) dan tanpa diserta surat penangkapan.
‎"Menurut Laica itu bukan tangkap tangan. Tangkap tangan itu momentumnya bersamaan. Tindak pidananya bersamaan dengan pelaku dan perbuatannya. Artinya ada kekeliruan dengan penangkapn Irman," jelas dia.
Razman menilai, penetapan tersangka dari OTT kepada Irman sangatlah keliru. Bukti yang ditetapkan kepada kliennya juga dianggap tidak tepat sehingga penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan KPK adalah sebuah kekeliruan. Hal ini jugalah, yang tengah dibuktikan pihaknya lewat praperadilan.
Dia menegaskan, sudah seharusnya KPK menunggu lebih dulu praperadilan Irman sampai selesai dan menghentikan sementara proses penyidikannya.
"Makanya itu kita ajukan lewat praperadilan, dan P21 Irman itu dipaksakan. KPK harusnya mengedepankan konsep keadilan karena tengah berlangsungnya praperadilan," ujarnya.
Saat disinggung mengenai langkah penasehat hukum Irman yang menolak hadir dalam proses pelimpahan berkas, Razman menegaskan, tidak ada satu tanda tangan pun dari pihak Irman saat berkas perkara itu dinyatakan lengkap oleh KPK.
Jika KPK tetap melayangkan berkas ke pengadilan, menurutnya, lembaga pimpinan Agus Rahardjo itu telah pelanggaran prosedur.
"KPK tidak boleh langgar prosedur seperti yang tertuang dalam KUHAP.‎ Karena tidak pernah ada tanda tangan Irman dan kuasa hukum. Irman sendiri juga tidak mau menandatangani selama praperadilan berlangsung," demikian Razman.
KPK telah melimpahkan berkas perkara dalam kasus dugaan suap penambahan rekomendasi kuota distribusi gula impor untuk wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang menyeret Irman sebagai tersangka. ‎Bersamaan dengan itu, dalam tahap II ini, penyidik KPK juga melimpahkan barang bukti beserta ketiga tersangka kasus tersebut. Selanjutnya, penyidik memiliki waktu 14 hari untuk menyusun surat dakwaan.
KPK menetapkan Sutanto dan Memi sebagai tersangka kasus dugaan suap rekomendasi penambahan kuota distribusi gula impor wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang diberikan Bulog kepada CV Semesta Berjaya. Penetapan tersangka pasangan suami istri ini merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Tim Satgas KPK di rumah dinas Ketua DPD RI, Irman Gusman di kawasan Widya Candra, Jakarta, Sabtu 17 September 2016 lalu.
Dalam OTT itu, Xaveriandy, dan Memi diamankan oleh tim satgas bersama dengan barang bukti uang Rp 100 juta yang diduga suap kepada mantan Ketua DPD RI Irman Gusman. Suap itu disebut KPK sebagai hadiah atas rekomendasi penambahan kuota distribusi gula impor untuk CV Semesta Berjaya tersebut.
Irman selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 a atau Pasal 12 b dan atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Sementara Xaveriandy dan Memi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
[sam]