Berita

Hukum

Kuasa Hukum Meranti Maritime Minta Semua Pihak Hormati Putusan Pengadilan

SENIN, 24 OKTOBER 2016 | 18:37 WIB | LAPORAN:

Proses restrukturisasi utang PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari telah selesai dan kini memasuki tahap pemberesan dalam proses kepailitan. Keduanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 22 Agustus 2016 lalu.

Meski demikian, polemik kepailitan perusahaan perkapalan itu masih berlanjut hingga muncul kriminalisasi terhadap dua kurator yang mengurus aset kekayaan PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari. Dua kurator itu yakni Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi yang dituduh tidak independen dan melanggar UU PKPU hingga akhirnya dipolisikan.

"Padahal pihak PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari sendiri yang secara sukarela mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Pengadilan Niaga. Tetapi klien kami yakni Allova dan Dudi malah disalahkan bahkan dikriminalisasi ketika PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat," jelas Guntur Fattahillah selaku kuasa hukum Allova dan Dudi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (24/10).


Dia menceritakan, dalam permohonan PKPU secara sukarela itu disebutkan bahwa PT. Meranti Maritime memiliki utang kepada Maybank Indonesia sebesar Rp 400 miliar dan PT Pann yang merupakan perusahaan BUMN sebesar Rp 1,3 triliun. Bersamaan dengan itu, PT. Meranti Maritime mengusulkan kepada Pengadilan Niaga mengangkat dua orang pengurus atau kurator untuk proses PKPU ini yakni Syahrial Ridho dan Tommy Siregar.

"Tetapi keduanya mengundurkan diri tanpa diketahui alasan yang jelas. Kemudian pada Desember 2015, Pengadilan Niaga mengangkat dua orang tambahan pengurus yakni Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi," beber Guntur.

Kemudian, PKPU atas PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari pertama kali diberikan selama 45 hari. Dalam kesempatan ini, Henry mengajukan proposal untuk membayar kepada kreditur yang mencapai kurang lebih Rp 1,8 triliun dengan membangun gedung pekantoran di atas tanah milik Meranti Bahari (saat itu sedang dalam keadaan PKPU dan juga dijaminkan kepada Maybank).

"Dari pengelolaan gedung tersebut digunakan untuk mencicil kepada para kreditur selama 21 tahun. Namun Maybank keberatan dengan penawaran ini dan meminta agar Meranti memperbaiki serta memberikan penawaran yang lebih realistis," papar Guntur.

Kemudian perdamaian diperpanjang beberapa kali sampai batas waktu maksimal sesuai Undang-Undang 37/2004 Tentang Kepailitan dan PKPU yakni 270 hari.

"Klien kami yang mengusulkan perpanjangan 90 hari terakhir. Namun sayangnya itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Meranti Maritime dan Henry," sesalnya.

Selanjutnya, pengurus melakukan proses verifikasi utang, namun ternyata PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari memiliki utang perusahaan asing (British Virgin Island) bernama Growth High Investment (GHI) yang mengaku memiliki tagihan kepada PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari sebesar Rp 980 miliar yang terdiri dari utang pokok Rp 280 miliar dan bunga Rp 700 miliar.

"Namun tagihan dari GHI sebesar Rp 980 miliar tidak dapat diverifikasi karena syarat pengajuan tagihan belum terpenuhi, lantaran terdapat dua surat kuasa dari orang berbeda untuk mewakili GHI serta tidak ada Surat Kuasa yang dilegalisir oleh Kedutaan Indonesia untuk wilayah British Virgin Island. Hingga akhirnya Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan atas hal ini dengan tidak memberikan suara kepada GHI untuk mengikuti voting," jelas Guntur.

Pada 19 Agustus 2016, dilaksanakan voting oleh para kreditor atas proposal perdamaian yang diajukan oleh Meranti dan Henry. Voting berlangsung alot dan hasil dari voting tersebut adalah tidak terpenuhinya kuorum yang ditentukan UU PKPU dan Kepailitan. Proposal perdamaian harus disetujui oleh kreditor yang mewakili tagihan sejumlah 66.67 persen. Sebagai akibat tidak terpenuhinya kuorum, sesuai dengan UU PKPU dan Kepailitan maka PT. Meranti Maritime dan Henry harus dinyatakan pailit.

"Artinya, Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap dan karenanya kami harapkan semua pihak menghormati putusan ini tanpa mempolitisasinya," tutup Guntur. [wah]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya