Dua tahun masa Pemerintahan Jokowi-JK, Tim Kajian SETARA Institute memberikan catatan pada bidang hukum dan hak asasi manusia.
SETARA membandingkan komitmen dan rencana yang tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan realisasi capaian dua tahun dari insitusi-institusi bidang hukum yang berada di bawah kendali kekuasaan Presiden.
Hasilnya, Nawacita yang merupakan dokumen politik yang disusun oleh Jokowi sebagai "jualannya" di Pilpres 2014, terdapat kesenjangan dengan apa yang tertuang dalam RPJMN.
Ini berarti, tim penyusun RPJMN tidak menerjemahkan dengan baik apa yang dicita-citakan dalam Nawacita atau sembilan agenda prioritas yang dijanjikan Jokowi-JK kalau terpilih pada Pilpres lalu.
"Perancang RPJMN gagal memahami isi Nawacita. Idealitas di Nawacita diterjemahkan tidak tepat oleh perancang RJPMN ini," kata Ismail Hasani, Direktur Riset SETARA Institute, di Kantor SETARA, Jalan Hang Lekiu II, Jakarta Selatan, Minggu, (23/10).
Ismail menilai, bahkan apa yang tercantum dalam RPJMN sangat kabur dan lari dari apa yang ditulis Nawacita. Hal ini berpotensi untuk membuat Nawacita Presiden Jokowi akan gagal dicapai pada 2019 mendatang.
Di sektor reformasi hukum misalnya, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Polri masih menjadi institusi yang biasa saja alias tanpa terobosan.
Tidak mengherankan kemudian, kasus-kasus HAM masa lalu tetap terabaikan hingga saat ini.
"Tiga institusi ini masih menjalankan rutinitas seperti biasa. Belum ada terobosan progresif. Proses penyelesaian HAM terabaikan," ujarnya.
Indikator kegagalan RPJMN menerjemahkan Nawacita lainnya adalah ketidakberanian Kantor Staf Kepresidenan mengklaim kinerja-kinerja kementerian sebagai prestasi selama dua tahun rezim Jokowi-JK.
"KSP saja tidak berani mengklaim kinerja kementerian sebagai kinerja yang bisa dijadikan prestasi selama dua tahun ini," tandasnya.
[zul]