Berita

Syria, Negara Gagal Akibat Semua Elit Ingin Berkuasa

RI Berpotensi Dilanda "Perang Saudara"
SENIN, 03 OKTOBER 2016 | 15:51 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

SENIN pagi tadi televisi CNN melaporkan seorang relawan berkebangsaan Finlandia, Eropa Utara yang masuk ke Aleppo, daerah konflik paling berbahaya saat ini di Syria, Timur Tengah. Adam Idhami kalau tidak salah begitu namanya, berhasil membawa segudang kumpulan mainan bekas di negaranya, untuk disumbangkan kepada anak-anak di Aleppo.

Sumbangan itu dari segi materi, nyaris tak ada artinya. Tapi dari segi kejiwaan, moral dan kemanusiaan ternyata luar biasa maknanya.

Anak-anak Syria demikian bahagia, begitu mendapatkan mainan seperti boneka atau bola plastik. Mereka begitu bersuka cita, turun ke jalan untuk bermain. Sementara di kiri kanan jalan tempat mereka bermain, berdiri bangunan-bangunan yang sudah porak poranda. Semuanya hancur akibat bom-bom dari sebuah perang saudara. Perang antar sesama orang Syria.

Wartawan CNN bertanya : "Apa yang mendorong anda mengambll keputusan beresiko seperti itu? Aleppo itu kan tempat yang paling tidak aman di dunia.... apa kata isteri dan 6 orang anak anda ketika harus ke daerah perang ?"

Adam yang pernah bekerja di Aleppo menjawab kurang lebih begini. Jiwanya tidak kuat menahan rasa sedih, menyaksikan laporan di layar televisi yang setiap hari mewartakan korban manusia yang berjatuhan. Rakyat yang tidak punya makanan dan minuman untuk menopang hidup. Rumah sakit yang dibom dan para dokter serta para medis yang lari dari tempat orang-orang yang memerlukan pertolongan, merupakan kejadian biasa.

Anak-anak di negara itu, kata dia, tak ada lagi pihak yang memperhatikan mereka. Orangtua, saudara sudah tiada dan masa depan mereka sudah tak jelas. Mereka memang butuh makanan, minuman dan pakaian serta tempat berteduh. Tapi anda tahu, anak-anak tetap punya dunia tersendiri. Anak-anak itu pasti ingin bermain. Saya ingin memberi mereka hiburan. Saya tahu, resiko terbunuh di sana, sangat besar. Tapi apalah artinya nyawa saya dibanding dengan anak-anak di sana. Nyawa saya tidak lebih mewah dibanding nyawa mereka.

Seusai menonton tayangan CNN tersebut, saya membuka sebuah video kiriman melalui WhatsApp.

Isinya, David Foster, penggubah lagu, penyanyi dan pianis kenamaan asal Kanada, tengah berada di sebuah panggung dengan seorang perempuan cilik. (Silahkan klik video terlampir).

Sang penyanyi cilik kelihatannya dari keluarga berada, setidaknya bila dilihat dari pakaian yang dikenakannya.

Namun yang mengejutkan, ketika menjawab pertanyaan David Foster, wanita cilik itu mengaku ingin menyanyikan lagu yang berceritera tentang kehidupan mereka yang hidup tidak dalam kemewahan.

Syair lagunya demikian menyentuh. Apalagi jika dikaitkan dengan kehidupan di Aleppo. Cukup banyak tempat di dunia ini yang tidak aman untuk ditinggali. Aleppo satu di antaranya. Banyak manusia yang sedang berharap agar kelaparan dan perang bisa segera berakhir.

Sementara cara sang penyanyi cilik menyanyikan lagu itu demikian sempurna. Dalam arti ia sangat menghayatinya, membuat siapapun yang menyaksikan caranya bernyanyi ikut tersentuh..

Dengan iringan sebuah orkestra, lagu itu mampu membuat semua penonton seperti menahan napas dan tak ingin berucap kata. Semua yang menonton, seperti terpaku. Menyimak kata demi kata dari seluruh syair.

Semakin menyentuh saat di tengah lagu, si penyanyi cilik menyelipkan doa untuk mereka yang hidup tak berkecukupan dan bagi yang terjebak dalam peperangan. Semoga penderitaan, kelaparan dan peperangan akan segera berakhir.

Sayang video kiriman itu tidak dilengkapi dengan informasi kapan peristiwanya, di mana serta dalam rangka apa. Juga tidak tercantum siapa pengirimnya.

Akan tetapi sebagai seorang ayah yang punya anak kecil dan terlahir sebagai anak tunggal, menyaksikan tayangan CNN dan video kiriman itu, saya seperti diingatkan agar terus mensyukuri kehidupan yang lebih baik yang diberikan oleh Tuhan YME. Sekaligus berharap, kejadian di Syria tidak merembet ke negaraku.

Saya sudah mengalami apa yang disebut "Perang Saudara". Di masa kecil, di daerah kelahiran, Manado, Sulawesi Utara, pernah meletus perang saudara, Di daerah saya terbentuk pasukan "Permesta". Pemerintah Pusat kemudian mengirim tentara dari Brawijaya, KKO/Marinir dan RPKAD.

Petinggi militer yang kemudian meraih pangkat tinggi di kekuasaan seperti Sudomo, Benny Moerdani dan Ali Sadikin bagi generasi saya di Manado, bukanlah nama yang asing. Sebab mereka itulah yang memimpin pasukan yang kami sebut "Tentara Pusat" untuk menghancurkan "Permesta".

Tapi akibatnya antara lain, banyak rakyat sipil menjadi korban. Gagal sekolah, gagal dalam perencanaan hidup. Tak sedikit wanita perawan dan ibu-ibu muda yang jadi korban pemerkosaan. Tak sedikit anak-anak menjadi yatim piatu. Dan semua kejadian itu dianggap sesuatu yang sudah seharusnya terjadi, sebuah konsekwensi logis dari sebuah peperangan atau perang saudara.

Saya bersyukur karena perang saudara itu, tidak berlangsung lama. Sehingga tidak sempat menelan korban manusia yang lebih banyak.

Kendati demikian di ingatan saya masih terus melekat bahwa perang selalu menyakitkan bagi keluarga yang kehilangan anggota keluarganya.

Pasalnya, paman saya, termasuk salah seorang korban dari Perang Saudara tersebut. Sepupu saya pun akhirnya menjadi anak yatim. Dalam pertumbuhannya, kehidupan kami sangat berbeda. Dia yang tak punya ayah harus hidup bersama ayah tirinya. Malangnya, sang ayah tiri tidak bisa menyekolahkannya.

Hingga sekarang saya tidak tahu bagaimana nasibnya. Sebab perjalanan hidup kami yang berbeda. Sepupu saya, dia yang bernama Dombo Manua, merantau mengikutui ayah tirinya, Ia merantau ke Kabupaten Bolaang Mangondow, jauh dari kota Manado, untuk menjadi buruh kasar. Ia malu bertemu dengan saya.

Ayahnya atau paman saya, dibunuh "Tentara Pusat", anak buahnya Benny Moerdani.

Menurut ceritera orangtua, pasukan Benny Moerdani dalam perjalanan menuju airport Sam Ratulangie. Mereka dari desa Ponto, sebuah wilayah yang menjadi tempat pendaratan "Tentara Pusat". Untuk merebut bandara Sam Ratuklangie, mereka melewati desa kelahiran orangtua saya, Warisa.

Saat di Warisa, pasukan Benny Moerdani memergoki paman saya yang dicurigai anggota "Permesta".

Hanya diinterogasi beberapa menit, dor, timah panas menembus kepala dan punggungnya. Mayatnya dibiarkan begitu saja di tengah jalan. Mayat terpaksa dibiarkan selama beberapa jam. Karena tak ada yang berani menolong, mengevakuasi, takut didor oleh "Tentar Pusat".

Saya tidak sempat melihat wujud mayatnya. Tetapi menurut ceritera, Bu De saya pingsan mendapatkan kematian suaminya secara tragis.

Mungkin emosi saya pada awal pekan ini memang sedang terganggu. Sehingga perang saudara di Syria yang terlalu jauh dari Indonesia, saya rasakan serolah sangat dekat dengan Indonesia. Sehingga kekhawatiran saya pun seperti "melo" dan menjadi-jadi.

Tapi perasaan "melo" sebetulnya tidak lepas dari pengalaman yang saya alami dalam dua peristiwa perang. Yaitu perang saudara "Permesta" dan perang saudara di Vietnam, Indochina.

Dalam perang "Permesta" sekalipun masih anak-anak, tapi kejadiannya sudah saya saksikan dan efeknya sudah saya rasakan.

Sementara itu ketika sebagai wartawan "Sinar Harapan", pada tahun 1984, saya ditugaskan ke Vietnam dan Kamboja.

Disana saksikan dengan mata kepala sendiri betapa efek negatif dari sebuah perang. Kesadaran saya pun berbeda dalam menafsirkan perang.

Perang menurut hemat saya, apapun alasannya, sangat merusak dan menghancurkan semua pihak. Jika diungkapan dengan bahasa yang lebih filosofis, dalam perang tak satupun pihak yang bisa menang.

"Menang hanya akan menjadi debu dan yang kalah akan menjadi abu".

Dan ironisnya yang menjadi korban dalam sebuah peperangan biasanya hanya mereka yang tergolong lemah. Yaitu anak-anak, wanita atau mereka yang sudah berusia lanjut.

Di Ho Chi Minh City (dahulu Saigon) misalnya, saya saksikan anak-anak yatim atau yatim piatu yang dijuluki "Amerasian". Anak-anak yang lahir dari pasangan tentara Amerika dan wanita Asia keturunan Vietnam. Mereka menjadi pengemis. Sebab ayah mereka, tentara Amerika, ada yang sudah terbunuh di medan perang atau sudah pulang ke Amerika, tanpa mempedulikan nasib keturunannya.

Sementera ibu mereka juga kurang lebih sama. Kalau tidak terbunuh di medan peperangan, dieksekusi oleh Pasukan Komunis Vietnam yang berhasil memenangkan peperangan di negara itu.

Pemandangan lain yang memilukan, terlihat di kebun-kebun sawah yang ada di jalan sepanjang menuju Sungai Mekong, hingga ke Kamboja. Di sana terlihat para petani berupa orang-orangtua rentah atau anak-anak yang berusia belasan tahun, yang cacat tubuh. Sudah teramputasi. Tidak punya kaki atau tangan. Mereka menjadi korban dari ranjau, alat perang yang dimaksudkan untuk membunuh tentara. Tapi yang jadi korban hanyalah orang-orang sipil yang tak bersenjata.

Moral dari cerita ini, baik kisah Aleppo, Perang Indochina dan Permesta, semuanya terjadi karena berawal dari nafsu untuk ingin berkuasa. Karena semua elit ingin berkuasa, maka terjadilah eskalasi permusuhan. Klimaksnya meletus peperangan, Perang Saudara.

Perang di Aleppo (Syria), Perang Indochina (Vietnam dan Kamboja) dan Permesta (Sulawesi Uyara) semuanya menjadi-jadi akibat semua kekuatan mengundang hadirnya tentara asing. Di Aleppo ada tentara asing Rusia dan Amerika. Di Vietnam juga begitu. Di Permesta, baru senjata dan alat bantuan dari Amerika yang hadir

Dalam situasi sekarang, saya tidak sekedar melakukan insinuasi dan provokasi. Tapi bahkan lebih dari itu.

Saya sangat yakin jika situasi politik seperti saat sekarang - dimana semua elit ingin menjadi penguasa, pecahnya sebuah Perang Saudara cuma soal hitungan atau menunggu waktu.

Dan Pilkada apakah itu Pilkada DKI atau daerah lain, bisa menjadi pintu masuk.

Masalah SARA yang sejauh ini diyakini menjadi soal sensitif, , bisa menimbulkan perpecahan, oleh sementara kalangan malah makin sering diumbar. Mulai dianggap saatnya harus diangkat.

Perbedaan suku, agama, keturunan dan ketimpangan hidup antara kaya dan miskin, makin menjadi konsumsi politik sehari-hari. Caci maki secara halus dan kasar, tidak langsung dan langsung, sudah sangat menggejala.

Secara matematika politik, atmosfir yang mengarah ke "perang saudara" sudah terbuka.

Persoalannya, apakah kita bisa menghindar dari pengalamam Syria dan Indochina atau tidak ? *****

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Prabowo Sidak Dapur MBG di Bogor, Sampai Pakai Masker dan Penutup Kepala

Senin, 10 Februari 2025 | 13:40

Iran Lawan Pertama Indonesia di Piala Asia U-20 2025, Ini Jadwal Lengkapnya

Senin, 10 Februari 2025 | 13:33

Menteri Bahlil Siapkan Kepmen Wajibkan Eksportir Batubara Gunakan HBA

Senin, 10 Februari 2025 | 13:25

Investor Pasar Modal Tembus 15 Juta SID di Awal 2025

Senin, 10 Februari 2025 | 13:20

Tembok Kekuasaan Sudah Runtuh, Saatnya Jokowi Diadili

Senin, 10 Februari 2025 | 13:18

Geruduk Kantor Gubernur Sulteng, Massa Minta Operasional PT CPM Dihentikan

Senin, 10 Februari 2025 | 13:13

Pertamina dan Insan Pers Dukung Kemandirian Bangsa

Senin, 10 Februari 2025 | 13:08

Catat, Ini 3 Jenis Mobil Hybrid yang Dapat Insentif Pemerintah

Senin, 10 Februari 2025 | 13:07

Menguji Arah Ideologis Presiden Prabowo

Senin, 10 Februari 2025 | 13:03

Arne Slot Tak Menyesal Liverpool Tersingkir dari Piala FA

Senin, 10 Februari 2025 | 12:52

Selengkapnya