World Economic Forum (WEF) memangkas peringkat daya saing Indonesia empat level dari posisi 37 pada tahun lalu menjadi ke 41 pada tahun ini. Penyebab utamanya adalah korupsi dan birokrasi perizinan yang berbelit.
Dalam Laporan Indeks Daya Saing WEF 2016-2017, posisi Indonesia di bawah negara tetÂangga, seperti Thailand yang berada di posisi 34, Malaysia di posisi 25, dan Singapura di posisi 2. Indonesia masih unggul dibandingkan dengan Filipina yang berada pada posisi 57, VietÂnam posisi 60, dan Laos posisi 93. Sementara, posisi teratas masih dipegang Swiss.
Ada 12 indikator yang menjaÂdi penilaian WEF, yakni kualitas institusi, infrastruktur, kondisi makroekonomi, pelayanan kesÂehatan dan pendidikan dasar, pelatihan dan pendidikan tinggi, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembanÂgan pasar keuangan, penerapan teknologi, ukuran pasar, dan kecanggihan bisnis.
Menurut WEF, upaya reforÂmasi telah dilakukan Indonesia untuk memperbaiki iklim beruÂsaha cukup menaikkan peringkat daya saing Indonesia di dunia. Setidaknya, ada 3 permasalahan mendasar di Indonesia yang palÂing mendapatkan sorotan dari WEF. Yaitu, korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintah, dan keterÂbatasan infrastruktur.
Ketua Umum Asosiasi PenÂgusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengaku, tidak kaget dengan penurunan ranking daya saing Indonesia. Sebab, perizinan di Indonesia masih berbelit. Bahkan, 13 paket kebijakan ekonomi juga tidak bisa memangkas berbelitnya perizinan.
Menurut dia, tujuan Presiden Jokowi mengeluarkan paket kebijakan ekonomi adalah unÂtuk mempermudah bisnis dan meningkatkan daya saing. NaÂmun, sayangnya di lapangan keinginan presiden tersebut sulit teralisasi.
"Paling banyak terjadi di daerah. Banyak raja kecil di sana yang tetap masih mau mengatur. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan paket kebiÂjakan ekonomi," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Selain itu, lanjut Hariyadi, ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah justru menurunkan daya saing. Misalnya, pemberlakukan cukai plastik, kenaikan cukai rokok, dan Undang-undang
Corporate Social Responsibility (CSR).
Untuk infrastruktur, menurut dia, sedang dalam pembanguÂnan. Namun, dengan berbelitnya izin, banyak investor yang berÂpikir kembali untuk membangun infrastruktur. "Pembebasan lahÂannya juga sulit," ujarnya.
Akibat keterbatasan inÂfrastruktur, biaya logistik yang dikeluarkan oleh pengusaha membengkak. Belum lagi masih ada pungli (pungutan liar) dan waktu bongkar muat (dwelling time) juga belum maksimal. "Kami apresiasi perbaikan yang sedang dilakukan oleh pemerinÂtah," tuturnya.
Terkait dengan korupsi, HeriÂyadi juga menyayangkan, keÂbiasaan buruk itu masih marak terjadi. Karena itu, dia meminta, lembaga penegak hukum harus menindak tegas para koruptor. "Sangat disayangkan jika koÂrupsi menjadi salah satu faktor tertinggi yang menurunkan rankÂing daya saing kita," jelasnya.
Wakil Ketua Umum HimÂpunan Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur bilang, tingginya daya saing suatu negara bisa dilihat dari jumlah ekspornya. Jika nilai ekspornya masih kecil, berarti daya saing negara terseÂbut masih kecil.
"Daya saing adalah simbol persaingan global," ujar Sobur kepada
Rakyat Merdeka.Menurut dia, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerinÂtah jika ingin menaikkan daya saingnya. Misalnya, menurunkÂan bunga bank. Saat ini, bunga bank Indonesia masih berada di angka 11,5 persen. Sedangkan Singapura hanya 6 persen.
"Dengan memangkas setenÂgahnya saja bisa membuat daya saing naik. Sekarang industri sulit bersaiang salah satunya karena bunga bank kita tinggi," jelasnya.
Selain itu, kata dia, memÂperbaiki regulasi upah buruh. Menurut dia, di daerah upahnya masih ditentukan sesuka hati gubernur atau walikotanya. Padahal, pemerintah sudah menÂerapkan aturan soal buruh. "Jika upah stabil dan tidak ada demo-demo, maka investor yang besar-besar akan banyak yang masuk ke Indonesia. Daya saing bisa terkerek," ungkap Sobur.
Dia juga minta, masalah inÂfrastruktur dan biaya energi bisa dibenahi dan diturunkan. IndusÂtri membutuhkan energi murah untuk bersaing karena negara tetangga tarifnya juga murah.
Terakhir, pemerintah diminta tidak mengeluarkan regulasi yang menghambat dan menekan jumlah penyelundupan. "Jika semua itu tidak dibenahi, daya saing kita tahun depan bisa turun lagi," warning Sobur. ***