Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berencana membolehkan gula rafinasi khusus untuk industri, dijual ke pasar konsumsi dengan harga yang diatur. Tujuannya, untuk menekan kebocoran. Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Pengusaha gula senang, sedangkan petani tebu meradang.
Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi (AGRI) Benny WachyuÂdi mengatakan, siap menjalankan perintah Mendag untuk menjual gula rafinasi ke pasar konsumsi jika diperintahkan. Saat ini, AGRI masih fokus menjual gula rafinasi ke industri.
"Tugas kita kan memasok gula ke industri makanan dan minuÂman. Jika ada penugasan lain, kami selaku pelaku usaha akan mengikuti perintah pemerintah," ujarnya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Terkait dengan patokan harga jual Rp 12.500 per kilogram (kg), Benny mengatakan, jika nilai tukar dolar AS dan harga gula seperti sekarang tidak masalah. Namun, dia meminta pemerintah juga memberikan subsidi transÂportasi untuk daerah Indonesia Timur. "Harga Rp 12,500 masih masuk," katanya.
Ditanya apakah sudah ada komunikasi dengan KementeÂrian Perdagangan (Kemendag), bekas Dirjen Industri Agro KeÂmenterian Perindustrian itu menÂgatakan belum ada. "Mendag bisa mengeluarkan kebijakan penugasan tersebut. Itu bisa diskresi Mendag," katanya.
Menurut dia, kebijakan Mendag ini juga akan membantu pelaku InÂdustri Kecil dan Makanan (IKM) yang selama ini kesulitan mendaÂpatkan pasokan gula rafinasi. SeÂbab, distributor selama ini dalam aturannya tidak bisa menjual gula rafinasi eceran.
Dia menambahkan, pasokan gula rafinasi saat ini terbatas karena diatur kuota. Akibatnya, banyak industri yang kekurangan. Dan, yang paling kekurangan adaÂlah IKM. "Harusnya impor gula disesuaikan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman setiap tahunnya," katanya
Benny juga menyayangkan, banyaknya kampanye hitam yang menyudutkan industri gula rafinasi. Padahal, asosiasinya hanya berusaha memenuhi keÂbutuhan gula industri. "Dengan adanya penugasan ini, tentu harus ada tambahan impor selain yang wajib untuk pasokan indusÂtri saat ini," tukasnya.
Cuma Akal-akalanSementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil menolak usulan itu. Kebijakan tersebut dinilai hanya akal-akalan peÂmerintah agar impor semakin menggelembung.
Menurut dia, Kemendag setiap tahun terlalu banyak memberiÂkan izin impor gula. Kelebihan ini akhirnya bocor ke pasar. Kebocoran ini ditakutkan bisa membuat gula tebu hasil pertaÂnian dalam negeri bisa tergeser.
Dia menjelaskan, dari data Kementerian Perindustrian diperoleh data bahwa jumlah kebutuhan gula rafinasi untuk inÂdustri mencapai 2,9 juta ton pada 2016, sedangkan gula konsumsi mencapai 2,8 juta ton. Artinya, kebutuhan nasional pada 2016 diperkirakan 5,7 juta ton gula.
"Data ini terlalu berlebihan dan tidak relevan. Dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 255 juta jiwa, maka kebutuhan gula rafinasi untuk industri sekiÂtar 2,295 juta ton," geramnya.
Arum menjelaskan, selama ini perusahaan gula yang berbahan baku tebu dan petani sebanyak 13 perusahaan, sudah mampu memÂproduksi gula kristal putih dengan rata-rata per tahun mencapai 2,5 juta ton. Angka ini sebenarnya sudah hampir mencukupi kebuÂtuhan gula rumah tangga.
"Adanya kebocoran gula raÂfinasi ditakutkan bisa membuat harga gula yang dihasilkan oleh petani anjlok," tukasnya.
Sebelumnya, Menteri PerdaÂgangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan, untuk meneÂkan harga gula, pemerintah akan memperbolehkan perusahaan gula rafinasi untuk menjual unÂtuk pasar konsumsi. Syaratnya, harga gula Rp 12.500 per kg.
Tidak dapat dipungkiri, seÂlama ini masih banyak gula raÂfinasi yang bocor dan ditemukan di pasar konsumsi. "Sekarang kita bilang buka saja yang ada. Tapi kita harus ada roadmap ke depan," kata Enggar.
Dia meminta, semua pihak terbuka dan menyatakan berapa sebenarnya kebutuhan gula raÂfinasi. "Sudahlah jangan bocor-bocor kita nyatakan aja berapa sih karena sekarang ada selisih antara produksi gula tebu dengan konsumsinya. Selisihnya dari mana kalau bukan dari impor," ketus Enggar. ***