Pengusaha mendukung langkah pemerintah yang melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang penggantian biaya operasi (cost recovery). Namun, mereka minta perizinan dan pengadaan lahan juga dipermudah biar kontraktor semangat ngebor minyak lagi.
Dirut PT Sele Raya Eddy Tampi mengatakan, pemerintah sangat terlambat dalam melakuÂkan revisi cost recovery. Sebab, industri migas nasional kondisÂinya sudah tiarap.
"Harusnya dari tiga tahun lalu dilakukan revisi. Dulu kankernya masih stadium satu sekarang sudah empat," ujarnya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, selama ini banÂyak kontraktor asing yang nggak mau ngebor karena aturannya berbelit sedangkan keuntungan bersihnya cuma 11 persen. Saat ini, banyak kontraktor migas yang patah arang dengan bisnis migas di Indonesia.
Akibatnya, negara dirugikan. Sebab, setoran migas berkurang. Sementara, pemerintah masih harus impor BBM padahal konÂdisi ekonomi sedang lesu sehingÂga pendapatan tidak maksimal.
"Ini menguras kantong negara. Sama saja kita mandi pakai air mineral setiap hari. Padahal kita punya sumber air," jelasnya.
Namun, dia menyambut baik, langkah Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mau merevisi aturan yang membebani kontraktor migas itu. "Jangan lagi setiap waktu berubah aturannya," katanya.
Eddy juga meminta, pemerinÂtah untuk mempermudah proses perizinan dan pembebasan lahan migas. Selama ini, kontraktor harus mengurus panjangnya perÂizinan sehingga menghabiskan waktu, belum lagi di lapanganÂnya sering dipersulit.
Dia mengusulkan, kontrakÂtor mengurus semua perizinan migas hanya ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK MiÂgas). Dan, dalam 60 hari seÂmuanya harus selesai. "Kalau pajaknya saja yang diperbaharui, tapi perizinan tidak diselesaikan percuma saja," ujarnya.
Eddy menambahkan, jika semua penghambat industri migas dibenahi pemerintah, maka bisnis ini akan bergairah kembali. Dampaknya, kantong negara bisa tebal lagi. "Jika bisnis ini jalan lagi, pemerintah nggak perlu bikan program tax amnesty buat nutupi anggaran," tukasnya.
Wakil Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang ReguÂlasi dan Kelembagaan Migas Firlie Ganinduto mengatakan, pemerintah memang harus banÂyak mengeluarkan kebijakan yang memudahkan kontraktor untuk mengebor minyak. Saat ini banyak perusahaan nasional yang sudah angkat kaki dari Indonesia.
"Pemerintah harus mengubah dulu pola pikirnya. Sekarang industri minyak kita sudah tidak menarik lagi," katanya.
Jika pemerintah diam saja, tentu banyak kontraktor yang lari ke Thailand, Kampoja dan Malaysia. Menurutnya, revisi PP 79 masih banyak yang harus diperbaiki lagi karena ada yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sebelumnya, pemerintah merÂevisi PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang
cost recovery dan perÂlakuan pajak penghasilan bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, untuk tujuan memperbaiki iklim investasi sektor tersebut.
Menteri Keuangan Sri MulyÂani mengatakan, revisi tersebut diharapkan mampu meningkatÂkan nilai keekonomian proyek melalui penaikan internal
rate of return, guna membuat kegiatan sektor hulu migas menjadi lebih menarik bagi investor.
"Berdasarkan kalkulasi, nilai keekonomian proyek akan menÂingkat melalui
internal rate of return, yang naik dari 11,59 persen menjadi 15,16 persen dengan dukungan pemberian fasilitas perpajakan maupun nonperpajakan, terutama pada masa eksplorasi," katanya.
Ada lima poin pokok perubaÂhan revisi PP 79. Pertama, pemÂberian fasilitas perpajakan pada masa eksplorasi, yaitu pajak perÂtambahan nilai (PPN) impor dan bea masuk, PPN dalam negeri, dan pajak bumi bangunan akan ditanggung pemerintah.
Kedua, fasilitas perpajakan pada masa eksploitasi mencakup PPN impor dan bea masuk, PPN dalam negeri, dan pajak bumi bangunan ditanggung pemerinÂtah hanya dalam rangka pertimÂbangan keekonomian proyek.
Ketiga, pemerintah memberiÂkan pembebasan pajak penghasiÂlan pemotongan atas pembenahan biaya operasi fasilitas bersama oleh kontraktor, dalam rangka pemanfaatan barang negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya overhead kantor pusat.
Keempat, adanya kejelasan fasilitas nonfiskal mencakup investment credit, depresiasi dipercepat, dan
domestic market obligation (DMO) holiday atau pembebasan kewajiban menyeÂtor ke pasar dalam negeri hingga produksi puncak.
Kelima, revisi ini akan menamÂbahkan konsep bagi hasil peneriÂmaan menggunakan rezim
sliding scale. Pemerintah mendapatkan bagi hasil yang lebih apabila harga minyak tinggi. ***