Kenaikan harga rokok harÂus pertimbangkan daya beli masyarakat. Harga rokok yang tinggi membuat rokok ilegal akan menjadi primadona.
Polemik kenaikan harga rokok yang belum berhenti membuat banyak pihak bicara. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati memÂberikan masukan agar pemerinÂtah bersikap lebih cermat dalam menaikkan cukai rokok.
Menurutnya, pemerintah mengkaji secara matang dalam merencanakan kenaikan harga rokok serta cukai. Kesalahan dalam menentukan kebijakan, ingat Enny, akan berimbas meÂluas. Bukan hanya akan menÂganggu aspek ekonomi, namun juga aspek kesehatan.
"Kalau hanya melihat dari satu aspek, tentu tidak akan efektif mencapai tujuan utama. Tetapi bisa jadi malah konÂtraproduktif. Di sini persoalanÂnya bukan suka atau tidak suka untuk merokok, tetapi harus ada kebijakan yang efektif dan pasti, sesuai pengendalian rokok serta prinsip cukai," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, polemik harga rokok bermula dari peÂnelitian Prof Hasbullah Thabrany dari Universitas Indonesia yang dipublikasikan akhir Agustus lalu. Menurut hasil penelitianÂnya, responden dalam penelitiÂannya akan berhenti merokok ketika harga rokok mencapai Rp 50 ribu.
Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun dibuat kewalahan untuk melakukan klarifikaÂsi. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi dalam beberapa kesempatan menyamÂpaikan bahwa kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu itu cukup tinggi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyatakan, bahwa Pemerintah akan melakukan penyesuaian kebijakan cukai, sesuai Undang-Undang Cukai dan juga APBN2017 yang hingga saat ini masih dikonsulÂtasikan dengan berbagai pihak. Lalu kapan harga cukai rokok baru akan diumumkan? "Akhir September," jelas Heru.
Pemerintah memang harus hati-hati memutuskan. Menurut Enny, Industri tembakau meruÂpakan salah satu industri stratÂegis bagi Indonesia. Pasalnya, industri ini masih menjadi salah satu penyumbang terbesar penÂerimaan cukai negara.
"Kontribusi cukai rokok itu sangat besar, 70 â€" 80 persen harga rokok itu untuk peneriÂmaan pajak, baik itu cukai, pajak langsung ataupun juga pajak daerah. Tidak ada satu industri pun yang dapat menggantikan kontribusi dari industri rokok," tambahnya.
Di sisi lain, Enny menegaskan kenaikan harga rokok yang terÂlampau tinggi akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Sebab, frekuensi permintaan masyarakat untuk mengkonÂsumsi rokok masih sangat tinggi. Alhasil, masyarakat akan memiÂlih produk yang lebih murah. Nantinya, kata dia, hal tersebut malah memicu meningkatnya produksi rokok ilegal.
"Idealnya, kenaikan tarif cuÂkai adalah sesuai dengan tingkat inflasi yaitu di kisaran 5 persen atau paling tinggi sesuai dengan persentase kenaikan target penÂerimaan negara dari cukai untuk tahun 2017, yaitu sebesar 6 persÂen. Hal ini demi menghindari munculnya masalah-masalah baru," tambahnya.
Karena itu, Enny meminta pemerintah mengkaji secara berimbang dampak kenaikan harga rokok. Tidak hanya daya beli masyarakat, pemerintah juga harus mengkaji aspek penÂerimaan negara.
Dengan tingkat cukai yang cukup tinggi, Enny menjelaskan, peredaran rokok ilegal pun ikut melambung signifikan di pasaran. Persoalan ini, menurut dia, bukan sebuah proyeksi. Namun sudah terjadi ketika pemerintah menaiÂkkan cukai secara masif dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Daya belinya masih terbatas, sehingga insentif orang untuk membeli rokok ilegal itu juga semakin tinggi. Pertumbuhan rokok ilegalnya juga meningkat secara signifikan, dari 6 persen sampai 8 persen, sekarang sudah sampai belasan persen," tambah Enny. ***