Perolehan keuntungan Pertamina yang disuarakan telah diplintir, didramatisir dan dikesankan karena memanfaatkan penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Padahal, sejak lahirnya UU Minyak dan Gas, pihak swasta non-BUMN selalu ditunjuk menyalurkan BBM bersubsubsidi oleh pemerintah, namun kenyataannya mereka mundur teratur karena rugi besar dan kalah bersaing dengan Pertamina.
Demikian pendapat pengamat energi, Sofyano Zakaria dalam keteranganya di Jakarta, Selasa (27/9).
"Di sektor penjualan BBM nonsubsidi pun terbukti, perusahaan minyak asing yang katanya kelas dunia Petronas, akhirnya gulung tikar dan menjual seluruh SPBU-nya di Indonesia kepada Pertamina. Ini bukti kalau keuntungan jual BBM itu kecil," ujarnya.
Agar tidak rancu, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) itu meminta semua pihak agar menakar keuntungan Pertamina berdasarkan data yang akurat yang sudah resmi dipublikasikan oleh Pertamina.
"Tahun 2015, Solar PSO Petamina bisa dikatakan memang untung Rp 3,19 triiliun, tapi untuk penjualan BBM kerosene (minyak tanah) ternyata Pertamina rugi sekitar Rp 900 miliar," ujarnya.
Untuk penjualan premium penugasan pemerintah, jelas Sofyano, Pertamina juga berpotensi besar rugi sekitar Rp 5,9 triliun. Belum lagi premium untuk Jamali (Jawa Madura Bali) yang harga jual Pertamina dipatok tidak boleh berbeda lebih dari Rp 100 per liter dengan harga BBM penugasan pemerintah.
"Publik seharusnya bisa menyimpulkan bahwa bisnis BBM PSO & Penugasan serta LPG PSO sampai semester satu untung operasional benar cukup tinggi," katanya.
Tetapi perlu diingat, lanjut dia, bahwa keuntungan itu belum termasuk pembebanan
overhead kantor pusat,
impairment, interest & tax."Sehingga keuntungannya jika kita hitung tidak lebih dari 300 juta dolar AS. Dana keuntungan ini secara korporasi akan terkait pula untuk menutupi kerugian Pertamina akibat tidak naiknya harga jual BBM hingga September 2016," demikian Sofyano.
[wid]