INI ceritera ringan soal kekuasaan atau sebuah nostalgia politik dan kekuasaan. Ceritera ini sebetulnya sudah menjadi pengetahuan publik. Sehingga sebagai sebuah kisah, ceritera ini tidak lagi eksklusif.
Namun sebagai bagian dari sejarah Indonesia, kisah ini tak akan lekang dengan waktu. Selain itu dari sisi moral dan keteladanan, kisah ini mungkin bisa menjadi bahan pembelajaran, perenungan ataupun kontempelasi.
Karena yang menjadi tokoh sentral dalam ceritera ini bukan orang sembarangan. Tapi seorang figur legendaris. Yakni Jenderal besar Soeharto, Presiden RI yang berkuasa di negara kita selama 32 tahun (1966-1998).
Sewaktu Presiden Soeharto atau Pak Harto berkuasa, kebebasan bersuara memang belum atau tidak sebebas seperti sekarang. Oleh karena itu kalangan LSM dan pegiat demokrasi - kalau mau mengeritik Pak Harto, caranya sembunyi-sembunyi.
Isi kritikan mereka antara lain menempatkan Pak Harto sebagai pemimpin otoriter. Pemerintahannya diberi label sebagai junta militer. Bahkan ada yang menyebut, sistem pemerintahan yang diberlakukan di Indonesia, juga diekspor ke Birma atau Myanmar. Pasalnya sejumlah jenderal yang berkuasa di negara itu sering dilaporkan media asing, suka berguru ke Indonesia. Maksudnya berkonsultasi dengan Pak Harto.
Tapi yang cukup mempribadi dari semua kritikan itu adalah sebagai seorang ayah, Pak Harto disebut sebagai sangat protektif, melindungi anak-anak dan keluarganya. Sementara anak-anaknya pun dikatakan bisa semau mereka berbuat apa saja di republik ini.
Pusat korupsi pun dikatakan berada di pusat kekuasaan pemerintahan Pak Harto.
Misalnya oleh Amien Rais, seorang intelektual Islam dari Yogyakarta, menjuluki pemerintahan Pak Harto sebagai rezim yang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Dalam beberapa hal kritikan itu mungkin mengandung kebenaran. Hanya saja ketika itu, belum ada pebanding.
Sehingga kritikan itu sendiri ada yang menganggap sebagai sebuah kebenaran yang absolut.
Pak Harto mundur dari kekuasaan 21 Mei 1998. Meninggal dunia tahun 2008 atau 10 tahun setelah tidak lagi berkuasa.
Setelah Pak Harto tidak berkuasa, dalam 18 tahun terakhir, Indonesia diperintah oleh 5 Presiden. Kini di tangan 5 Presiden itu, masyarakat pun mulai membuat penilaian dan perbandingan.
Tidak dinyana, kebaikan dan pencapaiannya sebagai pemimpin bangsa, satu per satu mulai bermunculan.
Rakyat pun mulai "ngeh" atas berbagai kekurangan dan kelemahan para Presiden yang menggantikan Pak Harto.
Rakyat merindukan pola kepemimpinan Pak Harto. Dia yang disebut otoriter tapi ternyata lebih memberikan keamanan dan rasa nyaman. Dia yang militeristik, tapi ternyata lebih bisa memberi kehidupan yang sejahtera.
Meme-meme pun bermunculan, seperti mengkultuskan Pak Harto. "Enakan jaman saya to", begitu antara lain salah satu meme, merujuk hasil-hasil positif yang dikenal dalam pemerintahan Pak Harto.
Masyarakat mulai sadar bahwa kalau bicara soal sikapnya terhadap anak-anak dan keluarga, Pak Harto merupakan sosok yang fenomenal.
Pak Harto punya tiga anak laki-laki, Sigit Hardjojudanto, Bambang Trihatmodjo dan Hutomo Mandala Putera. Sejatinya, ketiga anak laki-lakinya inilah ia sandarkan akan masa depan keluarga.
Yang fenomenal adalah tak satupun dari ketiga puteranya itu yang ia paksakan mengikuti jejaknya, masuk jadi tentara, melalui Akademi Militer. Dengan tujuan agar bisa mengikuti jejaknya. Paling tidak menjadi jenderal dan syukur-syukur bisa menjadi politisi dan meraih kekuasaan.
Juga tak satupun ia dorong mereka mengejar berbagai gelar akademi supaya bisa menjadi manusia berilmu tinggi.
Pak Harto bahkan tidak pernah kelihatan membantu, membimbing semua anak laki-lakinya, agar bisa sukses sepanjang zaman.
Terhadap tiga anak wanitanya pun perlakuannya kurang lebih sama. Mungkin Pak Harto lebih banyak menggunakan waktu untuk mengurus negara ketimbang keluarga.
Yang juga mungkin dilupakan banyak orang, ketika Pak Harto sudah tidak berkuasa, ia sebetulnya masih memiliki pengaruh. Ia masih disegani dan punya wibawa.
Dan semua itu, tidak didapat melalui rekayasa pencitraan. Wibawa dan respektasi itu didapat melalui sebuah keteladanan kemudian membentuk seperti sebuah jaringan luas.
Dengan kata lain, kalu bicara soal kekuasaan dan hal itu diilustrasikan, ceritanya bisa sebagai berikut. Secara resmi Pak Harto sudah menjadi rakyat biasa. Tapi rakyat biasa tetap masih menganggapnya sebagai seorang Presiden.
Saya misalnya ketika melewati Jl. Cendana, kediaman resmi keluarga Pak Harto, selalu merasakan ada 'sesuatu' atau ada Pak Harto di tempat itu. Entah karena ketika bekerja sebagai reporter "Sinar Harapan", saya sering menunggu narasumber di halaman rumah Presiden Soeharto.
Selama berada di situ bisa menyaksikan orang-orang penting masuk keluar dibawah penjagaan keamanan yang cukup ketat.
Pak Harto tidak hanya fenomenal tapi unik. Setelah tak berkuasa, dia tidak berusaha mematut-matut diri sebagai pemimpin yang pernah tahu banyak tentang bagaimana memimpin sebuah negara.
Pak Harto tidak melakukan perjalanan nostalgia ke berbagai wilayah Indonesia sekedar seperti jumpa pengagumnya begitu. Pak Harto tidak menciptakan opini, lalu opini mana ikut mengganggu pemerintah yang berkuasa.
Masih tentang keluarganya. Sewaktu beberapa anak Pak Harto menghadapi masalah hukum, tak satupun yang dia bela. Dalam arti, Pak Harto tidak berusaha menggunakan pengaruh dan kewibawaannya itu untuk melakukan intervensi.
Tahun 2003 misalnya Tommy Soeharto dihukum pengadilan sampai ia dipindahkan ke penjara di Pulau Nusakambangan.
Siapapun tahu, sebagai seorang ayah, peristiwa yang menimpa putera kesayangannya itu, pasti sangat menyakitkan dan melukai perasaannya. Namun Pak Harto tidak bereaksi.
Bahkan kalu memang dunia peradilan kita sebagaimana banyak dikecam, penuh dengan tindakan transaksional, apa susahnya Pak Harto mengeluarkan sejumlah dana, demi mencegah agar putera kesayangannya tidak melewati pemenjaraan seperti itu. Bisa saja Tommy disuruh lari ke luar negeri, ke sebuah negara yang bisa memberinya perlindungan.
Tapi jangankan berusaha mencegah atau menggunakan pengaruhnya. Berbicara kepada pers saja, mengungkapkan rasa prihatin atau perasaan lain sebagai seorang ayah, tidak dilakukannya sama sekali.
Sebuah bukti bahwa Pak Harto sebagai ayah, selaku jenderal dan sebagai mantan Presiden, memiliki visi yang jelas bagaimana cara bersikap secara terukur.
Bahwa membela martabat keluarga itu tidak harus dengan omongan atau pamer pengaruh. Bisa juga dengan cara diam.
Puteri tertuanya, Siti Hardjanti Rukmana alias Mba Tutut, berperkara dengan Harry Tanoe dalam soal kepemilikan stasiun televisi TPI.
Selama sengketa dan TPI dalam pemguasaan Harry Tanoe, bukan sekali dua kali Mba Tutut diserang melalui running text, berita di TPI. Serangan itu kalau dipolitisasi, bisa juga dianggap sebagai serangan yang dilakukan secara insinuatif, terhadap Pak Harto dan keluarganya. Martabat keluarga Pak Harto dihancurkan lewat pemberitaan.
Tapi lagi-lagi Presiden yang mantan Pemimpin Orde Baru ini, tak menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk membela putri kesayangannya. Atau menyetop pemberitaan negatif itu.
Tahun 2000, Bambang Tri kesulitan dana. Untuk mengatasi kesulitan itu, Bambang memilih menjual mayoritas sahamnya PT Bimantar Citra yang didirikannya tahun 1982.
Di dalam PT tersebut terdapat RCTI, stasiun televisi swasta pertama Indonesia. Stasiun televisi ini pada saat itu tergolong perusahaan yang lukratif. Secara bisnis memberi keuntungan yang tidak kecil. Iklan per spot atau setengah menit untuk prime time, seharga Rp. 25.- juta. Atau satu menit menghasilkan Rp. 50,- juta, dalam 60 menit atau sejam sebesar Rp. 3,- milyar. Sehingga dari strategi bisnis, sangat rugi bagi BT jika harus menjualnya.
Menurut ceritera Jongkie Sugiarto, orang kepercayaannya BT, Bambang saat itu membutuhkan uang untuk melunasi hutang-hutangnya yang berbentuk kredit di berbagai bank.
Ketika Jongkie menceritakan kisah ini kepada saya lebih dari 10 tahun lalu, saya sempat berpikir dan membatin. "Lha kenapa Mas Bambang tidak minta bantuan uang dari Pak Harto?"
Akhirnya Bimantara dan RCTI - seperti yang kita saksikan saat ini, beralih kepemilikannya. Pemilik baru Harry Tanoe, seorang pengusaha muda asal Surabaya yang sukses di Jakarta. Harry juga pebisnis yang berperkara dengan Mba Tutut, kakak kandung Mas Bambang Tri.
BT kehilangan aset yang sangat berharga tersebut. Tetapi kehilangan itu ada kompensasinya. BT dan keluarga Cendana, tidak menjadi bulan-bulanan melalui kritikan oleh mereka yang tidak suka terhadap Pak Harto.
Langkah BT ini termasuk pilihan berat tetapi sangat strategis sifatnya.
Kejadian ini memperlihatkan bahwa Pak Harto sebagai orang tua, mantan Presiden, punya cara tersendiri bagaimana membela atau mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang dewasa dan bijak.
Di sisi lain, Pak Harto tidak menjadi bumper abal-abal apalagi protektor yang membabi buta.
Sementara putera-puterinya pun sepertinya cukup sadar apa yang harus mereka lakukan.
Mereka, anak-anak Pak Harto tidak boleh menggunakan nama besar Pak Harto sebagai tameng. Mereka harus berusaha mandiri atau tidak bisa bersembunyi di balik ketiak Pak Harto.
Dan yang tak kalah pentingnya, bungkemnya Pak Harto setelah tidak menjadi Presiden, ternyata berbuah manis. Diamnya Pak Harto hingga meninggal dunia, ternyata tidak hanya berdampak positif bagi keluarganya tetapi juga bagi bangsa Indonesia.
Tak bisa dibayangkan, apa yang terjadi di Indonesia, kalau setelah Pak Harto menjadi rakyat biasa, dia masih berusaha tampil seperti layaknya seorang Presiden Bayangan.
Tak pula bisa dibayangkan, bagamana dampaknya ke kehidupan masyarakat, apabila anak-anaknya yang sudah dewasa tidak menunjukkan sikap yang mandiri. Masih bisa menangis dan berkeluh kesah padahal kemapanan hidup mereka di atas rata-rata.
Dan yang terakhir tapi tak kalah pentingnya, pepatah tua Inggris ternyata ada benarnya:
Silent is golden. Diam itu emas.
[***]Penulias adalah wartawan senior