DI DALAM dalam buku termashurnya: The Clash of Civilizations , mengenai perbenturan peradaban atau clash of civilizations, Samuel P. Huntington menyatakan bahwa identitas budaya dan agama insan manusia akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin.
Dalam skala lebih kecil namun tidak kalah penting, perbenturan peradaban juga terjadi pada semangat pembangunan infra struktur yang sedang menggelora di persada Nusantara sejak 2015. Perbenturan peradaban pada pembangunan infra struktur di Indonesia tampil di panggung kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sosok perbenturan mashab Pembangunan Berkelanjutan dengan Pembangunan Nirkelanjutan.
Perbenturan dua madzhab pembangunan tersebut terutama terletak pada perbedaan tafsir terhadap pengorbanan. Para penganut paham Pembangunan Nirkelanjutan meyakini bahwa pembangunan mustahil ditatalakasanakan menjadi kenyataan tanpa pengorbanan. Para pejuang Pembangunan Nirkelanjutan bukan saja percaya namun meyakini seyakin-yakinnya yakin bahwa harus ada korban yang hukumnya wajib untuk dikorbankan demi pembangunan.
Namun tafsir atas arah pengorbanan para pejuang Pembangunan Nirkelanjutan beda dari pengorbanan para pejuang Kemerdekaan Indonesia.
Sementara para pejuang Kemerdekaan Indonesia siap mengorbankan jiwaraga diri sendiri maka para pejuang Pembangunan Nirkelanjutan siap mengorbankan jiwaraga orang lain bahkan rakyat miskin yang tidak berdaya melawan paksaan untuk berkorban demi pembangunan nasional!
Maka para penganut aliran Pembangunan Nirkelanjutan sulit mengerti kenapa rakyat tergusur tidak mengikhlaskan diri mereka dikorbankan dalam bentuk digusur atas nama pembangunan infra struktur sebagai program pembangunan nasional demi membangun negara, bangsa dan rakyat menjadi lebih sejahtera.
Para penganut mashab Pembangunan Nirkelanjutan tidak sadar bahwa pembangunan bernafas pendek secara tabrak lari hit and run ibarat pembangunan yang memberhalakan tujuan maka siap menghalalkan segala cara--termasuk mengorbankan manusia--demi mencapai tujuan.
Sebenarnya Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) cukup beralasan sehingga sepakat untuk mengikrarkan mashab Pembangunan Berkelanjutan sebagai mashab pembangunan umat manusia di planet bumi pada abad XXI tanpa mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya dan terutama manusia. Pembangunan adalah demi menyejahterakan bukan mengorbankan manusia. Pembangunan Nirkelanjutan telah terbukti merusak lingkungan alam sehingga berdampak destruktif terhadap lapisan ozon yang melindungi planet bumi dari kemusnahan.
Demi menghentikan atau minimal memperlambat proses kehancuran alam, sosial, budaya, dan manusia maka PBB mengikrarkan mashab Pembangunan Berkelanjutan.
Sebenarnya bangsa Indonesia memiliki peradaban dan kebudayaan musyawarah mufakat masih ditambah kemanusiaan adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk menghindari perbenturan peradaban antara Pembangungan Nirkelanjutan dan Pembangunan Berkelanjutan. Seyogianya, segenap segenap pihak yang terlibat dalam pembangunan infra struktur di Indonesia pasti mampu kalau mau menyisihkan segenap perselisihan paham demi sepaham dalam meletakkan rakyat sebagai bukan obyek namun subyek sebagai pelaku utama pembangunan.
Segenap pihak â€" termasuk rakyat â€" yang terlibat dalam pembangunan sebaiknya duduk bersama untuk secara gotong royong mencari cara terbaik untuk menunaikan tugas pembangunan nasional tanpa mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya dan terutama rakyat. Pembanguna dipersembahkan untuk rakyat maka sungguh tidak senonoh apalagi rakyat dipaksa berperan sebagai tumbal pembangunan!
Alangkah indahnya, apabila para calon kepala daerah di segenap pelosok Nusnatara masa kini sebelum terjun ke gelanggang pilkada memperebutkan tahta kekuasaan atas pilihan rakyat secara khusus diwajibkan untuk mengikuti pendidikan Pembangunan Berkelanjutan demi mampu menatalaksana pembangunan daerah masing-masing tanpa mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya dan rakyat yang telah memilih mereka untuk bertahta di singgasana kekuasaan. Demi bersama berjuang bukan secara gusur-menggusur namun bahu-membahu bergotong-royong membangun negara meraih cita-cita terluhur bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur! [***]
Penulis adalah pembelajar mazhab Pembangunan Berkelanjutan