DALAM mengikuti kisah perjuangan warga Bukit Duri mempertahankan sisa-sisa harkat, martabat serta hak asasi mereka sebagai manusia dan rakyat Indonesia, saya memperoleh kesempatan untuk mempelajari makna kehidupan dari sudut pandang wong cilik.
Ternyata latar belakang adegan perjalanan wong cilik di panggung kehidupan , senantiasa dihiasi dengan dekor bersuasana harapan namun sekaligus juga kekecewaan secara silih berganti.
Ada saatnya suasana cerah penuh harapan namun ada pula saatnya suasana berubah menjadi gelap penuh kekecewaan, dan sebaliknya secara silih berganti. Misalnya langit di atas Bukit Duri sedang cerah akibat Pemkot Jaksel tidak kunjung melayangkan SP-3 yang berarti pemerintah berbelas kasihan terhadap rakyat, mendadak langit berubah menjadi gelap-gulita dirundung awan hitam akibat mendadak sontak Pemkot Jaksel melayangkan SP-3 yang berarti dalam hitungan hari para petugas penggusur didampingi Satpol-PP akan melaksanakan penggusuran secara paksa terhadap Bukit Duri meski masih dalam proses hukum.
Namun secara mendadak sontak juga suasana berubah menjadi terang-benderang sebab awan kelabu di langit Bukti Duri lenyap terhembus berita bahagia yang pada malam hari Kamis 22 September 2016 disebarluaskan oleh media bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan akan membeli rumah warga Bukit Duri yang memiliki sertifikat kepemilikan rumah secara resmi. Pembelian itu, kata Ahok, untuk melancarkan proses penertiban permukiman yang berdiri di atas bantaran Sungai Ciliwung.
Di masa kini wabah berita bohong sedang merajalela melanda persada Nusantara, maka saya tidak tahu tentang bohong-tidaknya berita tentang Gubernur Jakarta akan membeli ruma warga Bukit Duri yang memiliki sertifikat kepemilikan rumah secara resmi. Apabila berita tersebut bukan berita bohong maka meski saya bukan warga Bukit Duri namun saya dapat ikut merasakan secercah harapan yang menyelinap di lubuk sanubari warga Bukit Duri bahwa mereka yang tidak memiliki apapun kecuali harga diri itu akhirnya akan memperoleh perlakuan dari pihak pemerintah sesuai asas kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Warga Bukit Duri yang sebenarnya sudah putus-harapan itu tidak mengharapkan apa pun kecuali keadilan. Jika warga Kemang yang digusur atas nama normalisasi sungai memperoleh gantirugi secara layak maka adalah adil apabila warga Bukit Duri yang akan digusur atas nama normalisasi sungai juga memperoleh gantirugi secara layak. Kebetulan pada pagi hari Kamis 22 September 2016 saya juga menulis dan mengirimkan ke kantor Gubernur Jakarta sepucuk surat permohonan kepada yang terhormat Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnawa dengan tembusan kepada yang terhormat Presiden Jokowi, demi memohon perkenan Gubernur Jakarta mengimbau Pemkot Jaksel agar berkenan menunda penggusuran Bukit Duri selama masih dalam proses hukum.
Maka dalam kesempatan berharga ini dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri untuk dari lubuk sanubari terdalam menyampaikan ucapan terima kasih serta penghormatan dan penghargaan kepada Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang telah berkenan menegakkan keadilan bagi warga Bukit Duri.[***]
Penulis adalah pembelajar perjuangan hidup wong cilik