SYUKUR Alhamdulillah, kehebohan Bukit Duri kini sudah mereda berkat perkenan Pemkot Jaksel menunda penertiban demi menghormati proses mediasi yang sedang dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara musyawarah-mufakat berupaya mencari jalan ke luar dari perbedaan pendapat antara pemerintah dengan rakyat.
Seperti biasa dari kehebohan lalu muncul berita yang benar dan berita yang menyesatkan bahkan tudingan, cemooh sampai hujatan. Satu di antara sekian banyak korban sasaran hujatan adalah Sandyawan Sumardi yang kebetulan memang merupakan tokoh paling populer di antara para warga Bukit Duri yang mendukung program normalisasi Ciliwung namun menolak dipaksa pindah ke rumah susun sewa Rawa Bebek.
Penolakan terutama atas alasan rumah susun berdasar sewa-menyewa di luar jangkauan kemampuan warga dan letak rusunawa Rawa Bebek yang memang lumayan jauh dari Bukit Duri. (Menurut mbah Google jarak terdekat adalah 21,8 km lewat Jakarta Inner Ring Road dan Jl. Layang Non-Tol Kp. Melayu-Tanah Abang) Ibarat pohon yang tinggi lebih deras tertepa angin maka akibat kadar popularitas Sandyawan Sumardi memang cukup tinggi maka pejuang kemanusiaan ini memang terpaksa lebih deras tertepa hujatan yang menurut pendapat saya adalah kurang tepat.
Kebetulan saya memang mengagumi Sandyawan Sumardi sebagai pejuang kemanusiaan sejati sejak 1996. Pada masa itu, terbukti Sandyawan Sumardi menghadapi angkara murka penguasa zaman Orba demi melindungi seorang pemuda bernama Budiman Sujatmiko yang kini telah menjadi tokoh politik nasional. Secara harafiah mempertaruhkan jiwa-raga, Sandyawan Sumardi berjuang mati-matian menyelamatkan Budiman Sujatmiko dari terkaman para angkara-murkawan pada peristiwa Kudatuli 17 Juli 1996. Maka Yap Thiam Hien Award dianugerahkan kepada Sandyawan Sumardi pada tahun 1996.
Dua tahun kemudian kembali Sandyawan Sumardi tampil sebagai pejuang kemanusiaan di gugus terdepan melawan angkara murka tragedi Mei 1998 dalam berjuang menyelamatkan para korban tragedi berlumuran air mata dan darah secara mengerikan itu! Perjuangan Sandyawan Sumardi bahkan sampai upaya secara layak memakamkan para jenazah tak dikenal yang hangus terbakar api huruhara Mei 1998.
Ketika warga Cina Benteng digusur, Sandyawan Sumardi bersama laskar Ciliwung Merdeka ikut mendukung pembelaan. Bahkan, Romo Sandy sempat ditahan beberapa hari di Kodim Jakarta Timur, karena dituduh mengkoordinasi aksi perlawanan para tukang becak di Jakarta. Selama dua hari dua malam ia dimintai keterangan di hadapan penyidik mengenai persoalan aksi perlawanan tersebut.
Memang, ketika itu Sandyawan sempat mengumpulkan ratusan tukang becak untuk mengadukan masalah mereka ke DPR. Sebuah pertemuan para tukang becak yang dipimpinnya sempat dikepung oleh aparat keamanan. Kedekatan Romo Sandy dengan rakyat miskin menyebabkan dirinya merakyat dengan julukan Romo Pemulungâ€.
Sementara warga Bukit Duri pada hakikatnya merupakan sebuah komunitas warga urban sahaja di Jakarta. Namun dengan segala keterbatasan diri mereka sendiri, warga Bukit Duri bersama laskar kemanusiaan Ciliwung Merdeka asuhan Sandyawan Sumardi pernah berjasa dalam ikut memberikan bantuan kemanusiaan scara spontan dan tulus kepada para korban maha derita akibat gempa dan tsunami Atjeh dan Sumatera Utara tahun 2004.
Pada tahun 2013 komunitas warga Bukit Duri memperoleh anugerah penghargaan (award) tingkat nasional dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI (PU-PR RI) sebagai pejuang "CITY CHANGER" sebagai Komunitas Swadaya Masyarakat yang telah terbukti mengejawantahkan semangat pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan kota Jakarta.
Saya memperoleh kehormatan dapat lebih dekat mengenal Sandyawan Sumardi melalui kegiatan kesenian termasuk pada tahun 2008 ketika bersama mempergelar konser rakyat di Gedung Kesenian Jakarta yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara beserta para menteri yang duduk bersama rakyat miskin Jakarta menyaksikan pergelaran seni-tari dan seni-musik oleh rakyat untuk rakyat.
Dari segenap rekam jejak tentang perjuangan hidup Sandyawan Sumardi dapat disimpulkan bahwa pejuang kemanusiaan kelahiran Jeneponto ini memang dilahirkan dengan takdir membela kaum tertindas. Di mana ada penindasan, Sandyawan Sumardi siap membela yang tertindas.
Gus Dur memberitahu saya bahwa Sandyawan Sumardi adalah personifikasi semangat kemanusiaan sejati. Romo Frans Magnis Suseno juga menyadarkan saya bahwa Sandyawan Sumardi merupakan anugerah kemanusiaan dari Tuhan Yang Maha Kasih. Wajar , bahwa Sandyawan Sumardi dalam membela kaum tertindas memang terpaksa berhadapan dengan kaum penindas.
Melalui naskah sederhana ini saya memberanikan diri memohon pihak yang kebetulan berseberangan pendapat dengan Sandyawan Sumardi dan warga Bukit Duri untuk berkenan menahan diri tidak mencemooh apalagi menghujat sang pejuang kemanusiaan dari Jeneponto. Biarkan hukum berbicara di persada Nusantara tercinta kita ini. Marilah kita beri kesempatan bagi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta PTUN Jakarta Selatan berupaya menegakkan pilar-pilar keadilan demi mengurai benang kusut perbedaan pendapat antara pemerintah dengan para warga Bukit Duri termasuk Sandyawan Sumardi, sesuai asas kemanusiaan adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan kerakyatan bagi seluruh rakyat Indonesia. MERDEKA!
[***]
Penulis Adalah Pembelajar Makna Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia