KABAR tentang meninggalnya seorang sahabat, tidak pernah tak mengejutkan dan menyedihkan. Itulah yang terjadi pagi ini (Jumat, 9/9) ketika membaca postingan Ilham Bintang. Ilham mengabarkan bahwa Tarman Azzam, seorang jurnalis senior, telah berpulang. Tarman merupakan sahabat sekaligus sainganku.
Saya menyebut hubungan kami seperti itu, karena realitanya memang demikian.
Sebagai wartawan, kami bersahabat tetapi dalam beberapa hal saling bersaing. Dan persaingan, bukan sekedar bersaing yang melibatkan diri kami berdua. Tapi ikut serta lembaga tempat kami bekerja.
Kami berdua, sama-sama merupakan wartawan produk Orde Baru (rezim Soeharto). Status dan latar belakang ini membuat kami berdua memiliki cara pandang tersendiri tentang dunia pers.
Tidak berarti lebih memuji era Orde Baru. Tapi dalam satu percakapan, terlontar kata-kata yang sama bahwa pada intinya kami sama-sama beranggapan, di balik banyaknya hambatan untuk mengembangkan demokrasi melalui kebebasan pers, tetapi era Orde Baru tetap menyisakan banyak pembelajaran yang bermanfaat.
Wartawan memang tidak bebas berkarya. Tetapi wartawan juga tidak sembarangan membuat berita yang diformat dan diframe.
Dalam penyajian berita, liputan atau analisa - tidak sekedar bebas tapi juga dibarengi oleh rasa tanggung jawab.
Sebaliknya kendati kami sama-sama produk Orde Baru, tapi di masa itu pula, kami bersaing ketat. Hanya saja persaingan kami itu terbatas tetap dalam lingkup profesional dan bisnis.
Di luar itu kami tetap sebagai sahabat, termasuk keluarga.
Sebagai profesional kami berdua mengawali karir di harian yang sama-sama diterbitkan di sore hari. Tarman di harian "Terbit" saya di harian "Sinar Harapan".
Karena sama-sama terbit pada waktu yang sama di ibukota, kami saling bersaing di lapangan untuk mendapatkan berita yang kejadian hari itu, bisa diterbitkan pada sore hari itu juga.
Menjadi wartawan koran sore itu di era itu, susah-susah gampang, Karena berita yang disiarkan ketika itu hanya oleh media punya izin tapi izin pun sewaktu-waktu bisa dicabut.
Belum ada TV swasta, Radio Swasta apalagi internet. Sehingga tidak ada perbandingan.
Sebagai wartawan swasta, tidak jarang di lapangan kami saling intip dan membuat desepsi. Dan itu terjadi ketika kami sama-sama meliput DPR-RI kemudian Istana.
Persaingan kami, ketika di DPR maupun di Istana, biasanya terjadi menjelang dead-line yaitu antara 12.00-12.30 WIB.
Persaingan terutama terjadi pada siapa yang bisa mendapatkan telepon yang bisa digunakan untuk mengirim berita ke kantor redaksi masing-masing. Dalam persaingan ini, waktu satu menit, sangat menentukan.
Ketika itu, belum ada handphone sehingga untuk mengirim berita ke kantor redaksi masing-masing, sangat bergantung pada sambungan telepon. Sementara telepon yang terpasang ketika itu, masih sangat terbatas dan kualitas suaranya pun belum sebaik seperti di tahun 2016 ini.
Kalau di DPR, agak mudah. Tetapi tetap saja mata kami berdua tertuju ke sebuah pesawat telepon di atas meja kerja seorang anggota parlemen yang sedang menganggur, manakala ada wawancara atau keterangan pers menjelang dead line.
Yang agak sulit di Istana atau Bina Graha. Hanya tersedia satu telepon. Dan itu kami masih harus bersaing dengan "Antara" dan "Surabaya Pos".
Jadi menjelang dead line, yang kami lakukan, adalah akal-akalan. Berlomba duluan masuk ke ruang telepon.
Saya beberapa kali sengaja masuk duluan ke ruang yang ada telepon dengan cara "menyogok" teman untuk menduduki tempat yang ada telepon. Tarman tidak tahu "permainan kotor" yang saya lakukan.
Teman yang saya "sogok" ini biasanya hanya pura-pura menggunakan telepon. Sehingga setiap kali ada yang mau menggunakan, termasuk Tarman Azzam, tak bisa menggesernya.
Tapi begitu ada saya, teman yang saya "sogok" itu akhirnya mempersilahkan saya untuk menggunakan pesawat telepon yang disediakan oleh Sekretariat Negara.
Selain masalah telepon menelpon, persaingan kami berlanjut ketika saya pindah atau mendirikan harian "Prioritas", bersama Surya Paloh.
Tarman dan saya menjadi sahabat yang berseberangan. Sebab bos-nya Tarman adalah Pak Harmoko - pejabat yang hobi menutup media, termasuk harian pagi tempat saya bekerja itu.
Jelasnya begini - pada Juni tahun 1987, harian "Prioritas" ditutup oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan dengan cara mencabut SIUPP-nya (Surat Izin Usaha Penerbiran Pers).
Saya menjadi pengangguran, Tarman tidak.
Penutupun ini tidak hanya kami lihat dari jabatan formil Harmoko tetapi karena Harmoko di luar jabatannya sebagai menteri, merupakan pemilik harian "Terbit". Jadi "Terbit" dan "Prioritas" merupakan dua media yang saling bersaing.
Selain "Prioritas", Harmoko, bos Tarman Azzam kami anggap sebagai pembawa masalah bagi penerbitan, media milik Surya Paloh. Seperti "Vista", "Media Indonesia" dan penerbitan lainnya di daerah. Hampir setiap waktu ada ancaman - berupa pembreidelan.
Sebagai sahabat saya sebenarnya ingin menelepon dan meminta bantuan Tarman Azzam agar dia bisa menggugah Harmoko untuk tidak terlalu gampang menutup media.
Tapi saya juga sadar, Tarman tak akan semudah itu melakukannya. Bahkan dengan ditutupnya media tempat saya bekerja, maka secara binis media tempat Tarmzan bekerja, secara bisnis pesaingnya berkurang.
Akhirnya saya hanya diam saja dan paling banter bisa berkelakar, menyindir manakala kami bertemu.
Namun yang saya catat, sekalipun saya suka menyindirnya, Tarman tidak pernah merasa terganggu.
Pada era Orde Baru dimana Harmoko selaku Menpen dan merangkap Ketua Umum Golkar, status sosial Tarman Azzam pun otomatis tambah terangkat. Ia misalnya dipercaya menjadi Pemimin Redaksi "Bisnis Indonesia". Selain itu perjalanannya untuk meraih jabatan Ketua Umum PWI Pusat relatif lebih mudah.
Yang saya salut, sekalipun saya menjadi saingannya, tetapi dia pulalah yang mengingatkan saya untuk tidak keluar dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Padahal dia sadar bahwa sebagai anggota PWI ketika itu, secara organisatoris, saya banyak dirugikan atau dikecewakan.
"Bung Derek, tolong anda jangan pindah ke AJI - Aliansi Jurnalis Independen," kata Tarman selaku Ketua PWI di tahun 1998 melalui telepon.
Dan saya benar-benar komit dengan permintaannya. Tahun 2003, Tarman Azzam terpilih kembali sebagai Ketua Umum PWI Pusat. Saya tidak hadir di kongres yang digelar di kota Palangkaraya, Kalteng.
Tapi Tarman memberi tahu saya bahwa nama saya tercantum dalam kepengurusan PWI Pusat, periode 2003-2008.
Percakapan sekaligus pertemuan kami terakhir terjadi di Kantor PWI Pusat. Saya memuji kesuksesan penyelenggaran pesta pernikahan putera tunggalnya. Sebab saya lihat dari karangan bunga ucapan selamat, datang dari semua strata.
Dari level Presiden ada karangan bunga dari SBY, Megawati dan Joko Widodo, kalau tidak salah.
Pokoknya yang hadir dan yang mengirim kembang merupakan lintas generasi, lintas segala-galanya.
"Yah betul bung. saya pun puas. Ternyata jaringan yang saya buat selama 40 tahun, tidak sia-sia," ujarnya sambil menjelaskan rasa bahagianya telah menikahkan putera tunggalnya.
"Tugas dan tanggung jawab saya sebagai ayah, suami dan orangtua, setidaknya sudah selesai," tambahnya merujuk pada resepsi yang dihadiri lebih dari 2000 orang itu.
Saya tidak punya firasat itulah percakapan kami terakhir. Juga tidak berusaha menafsirkan makna dari "saya sudah puas..."
Selamat jalan bung Tarman. Tak ada lagi persaingan di antara kita.
[***]
Penulis adalah wartawan senior